Rabu, 29 Juni 2011

SINDORO : My First Mountaineering

          Gunung Sindoro (3153 mdpl), 11 Juli 2009, 03.00, dari sinilah karir pendakianku dimulai. Sindoro adalah gunung pertama yang kudaki 2 tahun silam bersama 2 teman SMA-ku, Kakex dan Ian, serta 5 teman baruku, Weje, Agus, Cahyo, Sidiq dan Panji a.k.a Kampret. Di awal pendakian, kami tak saling kenal, bahkan sampai Pos III pun aku belum hafal nama-nama mereka. Tapi suasana terasa menyenangkan, terlebih aku akan menghadapi pengalaman baru, yang hari ini menjadi hobi yang begitu aku cintai.

at Basecamp, Sebelum Pendakian
           Aku melangkah dengan mantap di jalan berbatu, di antara ladang Tembakau yang menjadi etape pertama pendakian gunung ini meskipun matahari cukup panas siang itu. Kaos merah, Jaket parasit Biru, celana putih, dan sepatu Campuss, itulah kostum yang ku pakai. Aku juga belum mengenal Carrier, SB, dan Matrass. Maklum, PEMULA.
          setelah view Tembakau yang membosankan berakhir, aku mulai masuk etape kedua, Hutan. jalan yang kulewati tak lagi berbatu, dan sinar matahari tak lagi sepanas tadi karena terhalang pohon-pohon tinggi. Jalan masih landai, jadi hanya sesekali saja aku berhenti. Namun jalan landai tak bertahan lama, beberapa ratus meter kemudian jalur berubah, mulai naik turun, dan hutan juga semakin lebat. Dan di sini mulai terasa sensasinya, "Ini ya yang disebut naik gunung??".
          Sekitar 2,5 jam kemudian, mulai terlihat pemandangan yang berbeda, batu-batu besar. Di salah satu batu, aku menuliskan 8 nama kami, serta 1 nama yang kini menjadi "bendera' yang menaungiku, PMTG. Sejak saat itulah PMTG terbentuk. Nama PMTG sendiri diciptakan oleh Freddy, dan diusulkan oleh Kakex, yang merupakan singkatan dari Persatuan Mahasiswa Tanpa Guna. Konyol, tapi kami semua menyukainya.
Prasasti Terbentuknya PMTG

           Langit mulai gelap, setelah cukup "nampang" di atas batu kami melanjutkan langkah kami menuju Pos III, di sanalah kami akan mendirikan Dome dan tidur. Kami berjalan beriringan dalam 1 baris, dan mulai menyalakan senter-senter kami untuk menerangi jalan setapak. Perjalanan terasa semakin berat karena stamina yang mulai habis, serta jalan yang terus menanjak.(namanya juga naik gunung!!). Akhirnya, setelah berjuang (cukup) mati-matian, kami sampai di Pos III. Pos III berupa lahan kosong yang cukup untuk beberapa dome. Kami bergegas mendirikan 2 dome, memasak untuk makan malam, membuat api unggun untuk mengurangi hawa dingin yang begitu menusuk. Malam itu memang dingin sekali, maklum musim kemarau, namun langit di atas gunung Sindoro benar-benar amazing, berjuta bint*ng bertaburan. Lampu-lampu kota Temanggung juga tak kalah membuatku terpesona. Subhanallah...
Night at the Mountain
          Setelah shalat kami kemudian tidur untuk mengembalikan stamina, karena esok kami akan melanjutkan pendakian pukul 03.30. Aku, WeJe, Agus, Cahyo dan Sidiq tidur di dome WeJe, sedangkan Kakex, Ian, dan Kampret tidur di dome Yudhis a.k.a Monjaly.

********
12 Juli 2009 Pukul 03.30 dini hari
          Kami bergegas bangun lalu bongkar dome dan segera packing di antara dinginnya suhu dini hari di atas ketinggian. Kami mulai berjalan melewati jalan setapak dengan bantuan cahaya senter. Jaket double, kaos tangan, dan syall menjadi aksesori tambahan untuk menahan dingin. setelah berjalan sekitar 30 menit kami berhenti untuk shalat Subuh. Ini merupakan shalat terdingin yang pernah kulakukan, rahang bawahku sampai bergetar dan menimbulkan bunyi benturan gigi. Seluruh tubuhpun menggigil melawan angin gunung yang datang dari puncak dan menghantam tubuh kami. Inilah perjuangan. 
         Setelah selesai shalat, kami melanjutkan perjalanan yang masih panjang ini. Pohon-pohon tinggi mulai jarang, hanya beberapa di antara sabana. sekitar pukul 5.30, langit timur mulai menorehkan warna merah orange, tanda sunrise akan segera datang. Kami berhenti untuk menikmati moment-moment kemunculan sang mentari, sambil mengabadikannya untuk cerita anak-cucu nanti. awesome..

          Sekitar 1 jam kami berhenti di tempat itu, lalu baru berjalan lagi pukul 6.30. Jalan masih terus menanjak, semakin berat. namun motivasi untuk "menaklukan" gunung pertama ini membuatku tetap semangat melangkahkan kaki. Jengkal demi jengkal, tanjakan, demi tanjakan, bukit demi bukit. matahari merangkak semakin tinggi, semakin cepat menguras stamina. Kadang kami berhenti, untuk minum dan mengistirahatkan kaki. Sidiq mengeluarkan kentang rebus yang dibawanya dari rumah, dan membaginya padaku dan Cahyo (kalau ga' slalah). Kemudian dia langsung memakannya, dengan kulitnya juga. Dia berkata, "Di gunung, semuanya steril.". dari situlah muncul peraturan pertama PMTG, "DI GUNUNG, SEMUANYA STERIL".
          Jalan setapak di antara semak-semak masih menghiasi perjalanan kami. Di tengah perjalanan menuju puncak, aku bertemu dengan pendaki lain, Dhika, dari Diver Venture President University, Jakarta. Aku sempat ngobrol-ngobrol dengannya, foto bersama juga dengan dia dan rombongannya.
Wisnu - Fahmi - Dhika - Ari
The Beautiful scenery
Summit Attack
          Puncak semakin dekat, meskipun masih tertutup Puncak-puncak bayangan. Kupacu kakiku  di tanjakan di antara rerumputan setinggi lutut, kemudian jalan setapak yang ditumbuhi pohon Kayu Asam dan beberapa pohon lain. Semakin tinggi, semakin sering berhenti. Samar-samar kudengar teriakan seseorang, "Puncak!!", hal itu membuatku semakin mempercepat langkah, karena ku tahu puncak telah dekat. Dan tak lama kemudian,,
PUNCAK SINDORO (3153 mdpl)
12 Juli 2009, 07.30

Alhamdulillah. Ian dan Agus yang berjalan lebih dulu sudah berada di sana. Yang lain aku tak ingat, tapi yang pasti aku bukan yang terakhir sampai di puncak ini. Selain kami, ada beberapa tim yang sedang merayakan euphoria puncak. Dhika dkk juga telah berkumpul di puncak.
          Inilah keindahan yang benar-benar indah, perasaan senang berdiri di ketinggian. Sebuah perasaan yang  hingga saat ini membuatku selalu ingin kembali dan kembali lagi. Tak terlukiskan dengan kata panorama yang sungguh sempurna ini. Aku kemudian turun ke kawah gunung Sindoro yang tak lagi aktif ini, Dhika jua ikut turun. Kami kemudian membentuk tulisan dengan batu-batu, membentuk huruf-huruf dari Tim kami masing-masing, aku menulis PMTG, dan dia menulis Diver Venture. Ian, Kampret, dan Kakex menyusul ke kawah, setelah foto-foto, kami naik lagi menemui teman-teman kami yang telah sampai puncak semua.

Ian - Arie -  Kakex at Kawah Sindoro
Kakex - Ian - Arie - Kampret at Kawah Sindoro
          Acara kami di puncak yaitu masak untuk sarapan kami, lalu foto-foto dengan background gunung Sumbing, Merbabu, dan Merapi. Kamipun berfoto bersama Diver Venture, lalu berkenalan. dari situ ku tahu nama-nama mereka, Fahmi, Diana, Ayu, Fino, dan Wisnu. Dhika adalah senior mereka. Tak lupa kami bertukar FB, untuk tetap menjalin pertemanan ini. Sebelum turun, aku, Kakex, dan Sidiq berjalan menuju ladang Edlweiss di sisi selatan puncak, benar-benar ladang. banyak sekali pohon Edlweiss di sini, dan semuanya sedang berbunga. inilah kali pertama aku melihat keindahan bunga langka ini, Anaphalis javanica. Kemudian kami memetik beberapa tangkai bunga Edlweiss yang sedang mekar ini untuk "oleh-oleh". Bunga-bunga itu kami sembunyikan rapat-rapat di dalam tas kami, karena katanya kalu sampai ketahuan orang basecamp, biasanya disuruh mengembalikan atau harus membayar denda. Ya, saat itu memang masih belum terlalu peduli, masih mencari jati diri.


The 8 Founding Father Of PMTG
PMTG adventure - Diver Venture
          Setelah puas menikmati sejuknya puncak, kami turun melalui jalur semula setelah sebelumnya meneriakkan PMTG bersama-sama. Perjalanan turun lebih ringan dan cepat (Yo Genuuhhh!!). Di tanjakan rumput tadi, kini kami menuruninya dengan merosot alias mlorot, (nostalgia masa TK). Di jalur jalan setapak kami kadang berlari, jadi tak perlu waktu yang lama untuk sampai di Pos III lagi. Di sini kami berhenti, meluruskan kaki. Persediaan air mulai menipis, kurang perhitungan. Kemudian kami berangkat lagi, dan kembali berlari. Jalur yang semalam kami lewati dalam kegelapan ternyata sekarang terlihat cukup menyeramkan untuk dituruni, licin, jadi kami harus merosot lagi. kemudian berjalan, berlari lagi, berhenti sejenak, lalu berjalan lagi. Cahyo berlari dengan cepat sekali, aku dan lainnya sampai mengira ada setan lewat, ternyata Cahyo yang Menceleng Picek (baca : Membabi Buta). haha.
          Sampai di etape hutan, cuaca tak sepanas di etape sabana. Sampai di Pos II ada Dhika dkk, kami melewati mereka, hanya menyapa. Ingin berhenti istirahat tapi tak ada tempat lagi. Kami berjalan terus hingga Pos I, di sana kami berhenti. tenggorokan mengering, namun persediaan air telah habis. Kami berniat barter dengan pendaki lain yang naik gunung, barter roti kami yang masih banyak dengan air mereka yang jkuga masih banyak. Tapi tak kami realisasikan, kami pikir-pikir, Siapa yang mau?!! Sidiq kemudian memetik batang rumput Gajah, lalu menghisapnya, katanya ada airnya, tapi aku tak ikut. Mending menahan haus sampai Basecampdaripada nanti kenapa-napa. hehe.. Di Pos I ini ada kejadian lucu, tapi juga kasihan. Entah Diana DV (atau Ayu ya??)  jatuh, lalu dari belakangnya Fino DV (kalau gak salah) juga ikut jatuh dan menindih tubuh Diana, Namun kami yang lagi tiduran malah diam saja melihatnya, tidak menolong atau gimana. Soalnya kami antara kaget, ingin ketawa, dan sungkan. jadi, MAAF ya Diana (atau Ayu) n Fino (Kalau gak salah). :)
         Kami kemudian melanjutkan perjalanan turun dan kembali ke peradaban. Perjalanan melambat, karena kondisi tubuh yang sudah cape' dan tanpa minum. Ian, Sidiq, Cahyo dan Kampret berjalan di depan, jauh di depanku dan Kakex, sementara WeJe berjalan di belakang menemani Agus yang "masuk angin" (gara-gara pas sunrise foto ga pake baju). Cen Ra Mbois blas.! Agus yang berjalan dengan tongkat malah sampai ditawari tukang ojek yang memang ada di sana, dari etape hutan, tak jauh dari ladang. "Ojek, Mas..." hahaha...
          Setelah bersusah-payah berjalan melewati jalan berbatu, akhirnya aku dan Kakex sampai di Batas desa. Kami bergegas mencari sumber air, lalu meminumnya, segar sekali rasanya setelah menahan haus dari Pos I. Lalu kami segera menuju basecamp, ternyata mencari jalan tembus menuju basecamp sulit juga, kami sampai kesasar, setelah tanya penduduk kami baru bisa sampai di basecamp dengan selamat. Alhamdulillah... Kami merebahkan tubuh kami di atas terpal, melemaskan kaki kami, minum teh panas, membeli sticker, dan menandatangani bendera kecil warna merah (sampai sekarang masih ada), dan juga sandal jepit Kakex yang putus saat turun tadi. Melihat wajah-wajah lelah, tapi senang.. Menyenangkan...

********
          Inilah sepenggal kisah pendakian pertamaku, yang sangat menyenangkan, bermakna dan berarti karena menjadi awal dari "Aku" yang saat ini,,Seorang Pendaki,,a Mountaineer...Satu dari 8 pendiri PMTG,,yang  tak lagi singkatan dari Persatuan Mahasiswa Tanpa Guna, tapi Persatuan Mahasiswa Tresno Gunung. dan kini, tim ini bernama PMTG adventure.
          i wanna say thanks to Taufiq Bayu Pamungkas a.k.a Kakex yang telah mengajakku dalam pendakian Sindoro 2 tahun yang lalu itu, sehingga aku bisa merasakan nikmatnya berdiri di puncak gunung,,damainya berdiri di ketinggian...thanks a lot..
Tak lupa juga pada The Founding Fathers lainnya, Ian, WeJe, Agus, Cahyo, Sidiq dan Kampret atas pengalaman berharga ini. atas Kekonyolan, keterbukaan, dan kesetiakawanan kalian...
See you on the next mountaineerings...
PMTG..SAKLAWASE....

Selasa, 28 Juni 2011

MOUNTAINEERING....


MENGAPA MENDAKI GUNUNG????
Puncak Merapi (2914 mdpl), 17 Agustus 2010
           Bagi orang awam, kegiatan petualangan seperti mendaki gunung selalu mengundang pertanyaan klise “mau apa sih kesana???”. Pertanyaan sederhana tapi sering membuat bingung yang ditanya atau bahkan mengundang rasa kesal. George F. Mallory, seorang pendaki Inggris menjawab pertanyaan tersebut “because it is there”. Mallory bersama rekannya menghilang di everest tahun 1924. Soe Hok-gie (M-007-UI) menulis dalam puisi “Aku Cinta Pangarango; karena aku mencintai kebenaran hidup”. Dia tewas tercekik gas beracun di puncak Mahameru tanggal 16 Desember 1969.
Motivasi mendaki gunung memang bermacam-macam. Manusia mempunyai kebutuhan psikologis, kebutuhan akan pengalaman baru, dan kebutuhan untuk diakui oleh manusia lainnya. Rasa ingin tahu adalah yang mendasari dan menjadi jiwa setiap manusia
.
TEKNIK MENDAKI GUNUNG
Mendaki gunung pada dasarnya adalah olah raga berjalan. karenanya penguasaan teknik berjalan yang benar wajib diketahui terlebih dahulu.
berjalan di gunung tentu saja tak sama dengan berjalan di trotoar. Di gunung anda harus berjalan dengan beban di punggung, melintasi lembah, mendaki tebing, menuruni lereng-lereng, atau meniti punggungan-punggungan yang tipis. Dengan medan seperti itu ditambah dengan beban yang harus dibawa maka keseimbangan dalam berjalan di gunung adalah mutlak.
Seperti juga pejalan kaki yang lain, anda harus berjalan dalam satu irama yang tetap, dengan kata lain, tidak kaku seperti robot. Tidak ubah bagai seorang penari, berjalan di gunung pun punya seni tersendiri. Kalau seorang penari mempunyai kenikmatan tersendiri dalam melakukan gerakan-gerakannya, maka seorang pendaki yang berjalan dalam irama tertentu juga harus dapat merasakannya sebagai suatu kesenangan tersendiri pula.
Ada beberapa patokan yang harus diperhatikan dalam berjalan tentu saja melangkah, inilah hal pertama yang harus diperhatikan. Berjalanlah dengan langkah-langkah kecil, jangan memaksakan kaki untuk mlangkah terlalu lebar. Langkah-langkah yang terlalu lebar menyebabkan berat badan seringkali ditunjang oleh satu kaki saja karenanya keseimbangan badan pun gampang goyah. Dengan langkah-langkah yang kecil, berat badan dapat ditunjang secara mantap oleh kedua kaki. Perlu di ingat bahwa kaki bukan hanya untuk menahan berat badan, tetapi telah ditambah dengan berat barang yang ada dalam ransel. Dengan langkah-langkah kecil, gerakan nafas teratur, dan ini merupakan cara yang tepat untuk menghemat tenaga.
Bagi pendaki yang berpengalaman, berjalan dua atau tiga jam tanpa istirahat merupakan hal yang biasa. Tentu dibutuhkan kekuatan dan stamina yang cuma dapat diperoleh melalui latihan dan pengalaman yang tidak sedikit. Akan tetapi, sebagai ukuran minimal boleh dikatakan bahwa berjalan satu jam dengan istirahat sepuluh menit adalah normal.
Ketika istirahat, duduklah dengan kaki yang melonjor lurus sedikit di atas badan untuk mengembalikan darah supya mengalir normal, karena ketika badan berjaln seluruh darah telah berpusat di kaki. Teguklah minuman secukupnya dan makanlah beberapa makanan kecil. Usahakan agar tidak beristirahat di tempat berangin karena udara dingin dapat mengerutkan otot yang sedang beristirahat, dapat menyebabkan terjadi kram pada otot.
Pilihlah lokasi istirahat yang baik. Secara psikologis lebih menguntungkan apabila anda memilih lokasi di bagian yang tinggi. Dari tempat ini akan tampak pemandangan yang indah, nikmatilah untuk mengurangi perasaab lelah setelah lama berjalan. Makan dan minum secukupnya untuk mengembalikan tenaga, kalau perlu di masak dulu agar hangat dan segar. Ada baiknya memakan sedikit garam untuk menghindarkn kram karena banyak keringat yang mengucur memungkinkan hilangnya garam dari tibuh. Membawa buah segar seperti apel, pir, anggur juga sangat membantu untuk mengembalikan tenaga. karena mengandung banyak air dan vitamin maka mengkonsumsi buah segar juga sangat membantu.
Ketika anda berjalan perhatikan betul medan yang dihadapi. Kalau melewati medan yang penuh kerikil dan batu-batui tajam, harap berhati-hati karena kaki mudah tergelincir jika ceroboh. Tidak berbeda apabila anda harus melintasi medan yang berbatu besar dan bulat seperti bebatuan pada sungai misalnya, anda harus melintasinya dengan melompat dari satu batu ke batu yang lain, yaitu dengan gerak sedemikian rupa cepatnya sehingga batu yang diinjak belum lagi sempat  bergulir tetapi anda sudah melompat ke batu yang lain.
Cara di atas tentu saja berbahaya kalau kondisi anda sudah lelah. Cara lain yang lebih aman adalah dengan menaiki satu persatu batu tersebut, perlahan-lahan dengan memeriksa terlebih dahulu batu yang akan di injak, agar tak gampang bergulir nantinya. Cara mana sebaiknya yang akan dipakai, itu tergantung dari pengalaman dan tingkat kelelahan anda.
Medan yang berumput dan terjal seringkali membahayakan, terlebih ketika basah karena hujan atau embun. Pendaki yang tidak berhati-hati akan mudah tergelincir, terutama jika memakai sepatu yang tidak sesuai. Demikian pula dengan medan becek, berlumpur, licin dan berbahaya.
Jangan percaya pada pohon-pohon kecil di pinggir tebing. Pohon-pohon ini seringkali tidak cukup kuat untuk menahan bobot manusia, sehungga mudah terabut. Btang-batang pohon itu banyak yang lapuk, lalu patah ketika anda menekalnya dan menahan badan di situ. Kalau tidak yakin betul, hanya guakan pohon-pohon itu sebagai keseimbangan saja.
Mendaki di lereng gunung dengan tanah berpasir lebih sulit daripada di atas tanah keras. Setiap kali menjejak, tanah berpasir bisa melorot ke bawah. Anda kadang-kadang perlu menyepakkan kaki ke dalam tanah pasir itu agar tidak melorot. Orang kedua dan seterusnya dapat mengikuti bekas jejak orang pertama supaya tidak mudah lelah, karena tanah berpasir bekas jejak menjadi lebih keras.
Berjalan di atas punggung dari sebuah tebing yang tipis dengan jurang menganga di sebelah kiri dan kanan merupaka kondisi kritis yang membutuhkan teknik tersendiri untuk mengulanginya. Angin kenang yang sering meniup akan menggoyahkan keseimbangan badan. Jangan melakukan gerakan-gerakan yang tiba-tiba dan membahayakan. Misalnya melempar batu atau mengayunkan tangan keras-keras. Berjalanlah dengan tenang dan penuh konsentrasi, tetapi tetap dalam irama yang teratur dan tidak kaku.

Sumber : rianlekoy.blogspot.com dengan perubahan seperlunya.

Sabtu, 18 Juni 2011

PENDAKIAN SLAMET VIA GUCI : Sebuah Perjalanan yang Bermakna

. . . . . . . . . . .
4 Juni 2011
           Udara pukul 05.15 pagi di Guci sangat dingin, tapi aku paksakan untuk bangun dan keluar dari Sleeping Bag-ku. Setelah shalat Subuh, kami semua packing semua barang-barang kami dan bersiap untuk mendaki Gunung tertinggi di Jawa Tengah, Gunung Slamet.
           Pukul 07.00 kami berkumpul di Terminal wisata Guci, ngobrol-ngobrol, foto-foto dan sarapan diiringi musik Dangdut Koplo. Satu jam kemudian kami mengikuti upacara pembukaan, dan banyak hal konyol yang terjadi. Kakex berkata, “gek pisan iki aku upacara ming nganggo kathok cendhak. Hahaha…” Memang, ini adalah upacara ‘terbebas’ yang pernah kami ikuti. Ngobrol-ngobrol, tidak pake seragam, topi, dasi, dll. Agus malah pake acara ngGendhong kucing bunting yang lewat di tempat upacara. Cen ra Mbois tenan!!





          Pukul 09.00 pendakian dimulai dan resmi diberangkatkan oleh panitia. Kami memilih untuk berjalan di belakang dan membiarkan peserta lain berjalan dulu. Perjalanan berjalan lambat, karena jumlah peserta yang sekitar 450 orang, sangat banyak untuk ukuran pendakian. Track pertama adalah jalan berbatu yang cukup lebar dengan rerumputan dan pohon pinus di kiri-kanan jalur. Namun jalur berubah menjadi jalan setapak, yang memang hanya cukup untuk satu tapak, beberapa ratus meter di bawah Pos I dengan vegetasi tambahan berupa tumbuhan dari genus Mimosa yang berbunga putih. pukul 10.13 kami sampai di Pos I, Pondok Pinus (1587 mdpl), masih sangat jauh dari puncak yang tungginya 3428 mdpl. Kami absen, istirahat sebentar, lalu melanjutkan perjalanan. Jalurnya masih sama, berupa jalan sempit dengan rerumputan di kanan-kirinya, namun vegetasinya semakin lebat dan benar-benar telah memasuki hutan. Tumbuhan-tunbuhan di hutan Gunung Slamet ini membentuk kanopi yang rapat, sehingga hanya sedikit cahaya matahari yang berhasil menerobos hingga dasar hutan. Dua jam kemudian kami sampai di Pos II, Pondok Cemara (1954 mdpl). Namun, karena di Pos II penuh dengan peserta yang istirahat, kami tidak berhenti di pos ini. Aku, Agus, Ririt, Ian, Endock Hanya absen, lalu berjalan lagi. Beberapa langkah melewati Pos II ada yang berteriak-teriak memanggil PMI, kami tidak begitu peduli dan tetap melangkahkan kaki menyusuri hutan Slamet yang semakin lebat. Pos II ke Pos III adalah track terpendek, hanya sekitar 45 menit. Lagi-lagi, di Pos III penuh dengan peserta yang duduk mengistirahatkan kaki, kami hanya absen dan melesat diantara pohon-pohon besar berlumut dan semak-semak setinggi bahu, meninggalkan Pondok Pasang (2129 mdpl). Badan terasa lelah, dan cacing di perut telah berontak minta diisi, namun tak ada tempat yang cukup luas untuk memasak makan siang. Akhirnya hanya bisa menahan lapar dengan 6 potong wafer. Di etape ini, kami paling sering dan paling lama istirahat. Ian, Agus, dan Endock menyalakan rokok mereka dan mulai menghisapnya. Di sini muncul kekonyolan lagi. Endock berkata bahwa dia merokok untuk membantu para petani tembakau agar tetap memiliki pekerjaan mereka, serta juga membantu Negara dengan cukai rokok yang merupakan pendapatan terbesar negara. Dasar perokok, ada saja alasannya. Setelah cukup kedinginan karena hanya berdiam diri, aku dan Ririt melanjutkan perjalanan, sementara mereka bertiga masih menikmati “racun” mereka.

     
Pos I - Pondok Pinus (1587 mdpl)






Ciebret

          Perut yang lapar membuat kami cepat letih, semakin sering berhenti, bahkan sampai tertidur di pinggir jalur pendakian sambil menunggu Ian, Agus Endock, Kakex, Gareng, Kondex dan Agus Brahma. Beberapa saat kemudian, Ian dan agus muncul dan malah ikut tidur di samping kami, beberapa menit kemudian Endock datang dan ikut tidur juga. Ririt, Agus, dan Ian kemudian melanjutkan langkah menuju Pos IV, namun aku dan Endock tak beranjak, baru sekitar 15 menit kemudian bangkit dan berjalan lagi. Di tengah perjalanan sempat berhenti lagi, Endock sampai tidur lagi. Hungry Effect!
           Akhirnya aku dan Endock baru sampai di Pos IV pukul 16.00, dan langsung menghampiri Ririt, Ian dan Agus yang tengah makan mie instan mentah. Isrirahat, ngobrol-ngonrol, dan makan mie mentah. Kalau ditotal, istirahat kami dari Pos III sampai Pos IV hampir 1 jam. Udara dingin membuat kami ingin terus bergerak dan ingin cepat sampai Pos V, tempat nge-camp. Akhirnya kami meninggalkan Pondok Kemutus (2587 mdpl) setelah absen pada panitia. Setengah jam kemudian kami istirahat di dekat mata air untuk shalat Dzuhur+Ashar. Tak berapa lama kemudian Agus Brahma datang bersama Kondex, Gareng, dan Kakex. Di situ baru kami tahu bahwa yang berteriak minta tolong PMI di Pos II adalah untuk menolong Kakex yang keram di kedua kakinya. Perjuangannya untuk berjalan sampai di sini pastilah sangat berat. Sorry Kex, Ra ngerti je…
Ada cerita lucu, saat kakex keram, ada yang berlari kearahnya bermaksud menolongnya, tetapi saat dia (yang mau nolong) sampai di depan Kakex, dia malah berteriak-teriak bahwa kakinya keram, kedua-duanya. Akhirnya PMI yang tadinya di panggil untuk menolong Kakex malah terus menolong dia (yang tadinya mau nolong Kakex). Seperti ironi di atas ironi…
Pukul 17.30 kami meneruskan langkah setelah Agus Brahma mengambil 3 liter air di mata air yang sangat curam jalannya. Hari mulai gelap, Gunung Cireme pun terlihat diantara cahaya orange di arah barat. Sunset. 20 menit kemudian kami sampai di Pondok Edlweiss, di sana ada panitia yang mengatakan bahwa camp utama di Pos V sudah penuh, jadi kami putuskan untuk mendirikan dome di Pondok Edlweiss ini bersama beberapa rombongan lain.
Setelah mendirikan 2 dome kembar siam berhadapan, kami shalat Maghrib plus Isya’, lalu mulai masak untuk makan malam kami. Nasi, Sayur tempe-buncis, orak-arik telur-mie, tempe goreng, gereh (ikan asin) dan kopi menjadi pengisi perut malam yang cerah dengan Jutaan bint*ng yang bertaburan di langit Tegal. Setelah beres-beres, kami segera tidur. Kakex, Ian, Agus dan Gareng di dome WeJe; Aku, Ririt, Endock dan Agus Brahma di dome satunya; sementara Kondex tidur di teras luar, diantara 2 dome. Udara dingin Bulan Juni ternyata masih bisa menembus lapisan Sleeping Bag dan Jacketku. Berkali-kali aku terbangun karena dingin, lalu tidur lagi. Terbangun lagi karena suara Nokia Tone, Nada Inbox-ku, lalu tidur lagi…

5 Juni 2011
Aku terbangun saat mendengar teriakan para pendaki lain, yang juga nge-camp di pondok Edlweiss, yang akan bersiap untuk Summit Attack sesuai jadwal Panitia. Tapi aku dan teman-temanku tetap tidur, karena kami memutuskan untuk ke puncak saat hari sudah terang. Alasannya?? Pertama, apa sih yang akan kita lihat jika kita berangkat ke puncak jam 02.00 pagi?. Gelap dan juga dingin. Tanpa pemandangan alam yang indah, tapi yang ada malah pemandangan 450-an orang yang mengantri untuk menyusuri pasir dan batu-batu di track ke puncak Slamet. Kedua, Ririt juga tidak berani berjalan di kegelapan tanpa kacamatanya, dan kebetulan saat itu dia tidak membawa kacamatanya. Ya, demi keindahan dan kesetiakawanan kami tidur lagi. (hahaha)
Pukul 05.00 aku bangun. Udara di ketinggian ±2600 mdpl itu masih dingin, meski tak sedingin saat ku terjaga malam tadi. Setelah tubuh mulai teraklimatisasi, aku segera keluar dome untuk shalat Subuh. Begitu juga yang lainnya, kecuali Ririt dan Agus Brahma yang masih terbungkus SB.
Setelah semua bangun, kami sarapan dengan nasi, sayur, dan mie yang memang telah kami siapkan semalam. Kami tidak membuat kopi atau teh panas, karena persediaan air kami menipis, jadi kami harus berhemat. Setelah packing selesai, kami berdoa lalu mulai berjalan lagi Pukul 07.30 untuk melanjutkan sisa perjalanan menuju puncak tertinggi di Jawa Tengah ini. Tapi pagi ini kami hanya berdelapan, tanpa Kakex yang memutuskan untuk tinggal di camp karena kondisi tubuhnya tidak fit pasca-accident di Butuh 3 hari lalu.
Perjalanan lebih mudah karena kami hanya membawa 1 carrier dan 1 daypack yang berisi 3 liter air, roti tawar, susu, 1 Misting, 1 liter methanol dan SB serta mantol untuk jaga-jaga. Track dari Pondok Edlweiss langsung nanjak abizz, hampir tidak ada ‘bonus’. Vegetasi masih cukup lebat dan masih didominasi pohon-pohon tinggi. Dua puluh menit kemudian kami sampai di Pos V, Camp utama peserta PenMas. Banyak sekali dome yang berdiri di sini, dan memang sudah tidak ada tempat lagi untuk membuat camp baru. Banyak para pendaki yang sudah turun memandangi kami dengan tatapan aneh, mungkin mereka bertanya-tanya dalam hati mereka, “Yah mene kok gek munggah??”. Tapi aku tak peduli, aku terus berjalan naik di tengah ‘perkampungan’ ini. Setelah beristirahat sebentar di depan tenda PMI, kami melanjutkan pendakian melewati perkampungan, menghabiskan hutan, lalu terlihatlah hamparan batu dan pasir yang megah di depan mata. Dari sinilah summit attack yang sebenarnya dimulai.
Kami mulai menapaki batu-batu dan karang-karang yang kami anggap stabil. Track ini mengingatkanku pada track Merapi setelah Pasar Bubrah, tapi ini sedikit lebih parah, dan jauh lebih panjang. Dari yang kubaca selama ini, mungkin track Semeru setelah Arcopodo juga seperti ini. Anggap saja latihan sebelum Ekspedisi Semeru yang entah kapan terlaksananya. Kembali ke Slamet, di sepertiga perjalanan kami bertemu dengan Tim SAR, lalu panitia PenMas, yang mengatakan hal yang kurang lebih sama, “Kok baru naik? Udah pada turun lho. Sebentar lagi akan dilakukan penyisiran oleh Tim SAR dan Panitia agar semua peserta yang masih di puncak turun karena dikhawatirkan akan adanya gas belerang yang mungkin berbahaya.” Begitu kira-kira yang mereka katakan, tapi aku tetap bertekad untuk lanjut. Aku terus melangkah, melewati para pendaki yang sedang turun, atau yang sekedar berhenti untuk foto-foto dengan background Gunung Cireme. Aku tak peduli apa yang mereka katakan, atau sekedar mereka pikirkan. Yang kupikirkan sekarang adalah terus berjalan, hingga puncak yang mungkin tinggal 1 jam Lagi. Kami tak lagi berjalan bersama, karena menurutku semakin banyak berhenti maka akan semakin kecil kemungkinan untuk bisa (boleh) terus mendaki sampai puncak. Ian dan Agus yang sejak awal berada di belakangku kini terlihat jauh, Begitu juga Endock, Ririt, Gareng, Agus Brahma dan Kondek.
Di bawah track pasir sekitar 30 menit dari puncak aku bertemu lagi dengan 2 Panitia PenMas, yang 1 sudah cukup hafal karena sering bertemu di perjalanan Guci – Pondok Edlweiss. Mereka berkata bahwa semua peserta sudah turun, dan tambang pengaman pun sudah mulai dilepas. Ya, memang tak kulihat lagi peserta lain selain 1 panitia berseragam Galas yang sedang melepas tambang pengaman. Tapi aku “ngeyel”, minta izin untuk tetap lanjut karena memang nganggung banget!! Jauh-jauh naik motor dari Jogja, pake kecelakaan lagi, ditambah dengan perjalanan sampai pondok Edlweiss yang melelahkan, masa tidak boleh naik sampai puncak yang tinggal 30 menit ini. Tapi akhirnya mereka mengizinkan karena aku tetap bersikeras dalam nego dengan panitia itu. Thanks!!
Kubulatkan tekad, kulangkahkan kaki mendaki tanjakan pasir yang benar-benar hanya pasir, dan labil. Setiap melangkah, pijakan akan merosot beberapa senti, dan begitu seterusnya sampai akhir tanjakan pasir ini. Track selanjutnya adalah pasir campur kerikil yang licin, di sinilah tambang pengaman tadinya dipasang. Aku mencoba mencari pijakan yang nyaman dan aman, tapi sulit karena kontur tanahnya yang tak beraturan. Memang jalur cukup luas, kanan kiri tidak langsung jurang, tapi kalau sampai jatuh maka bisa terguling sampai jurang. Disini aku sampai harus merangkak, menggunakan tanganku juga untuk berjalan, agar lebih ringan dan lebih aman. Kaki yang lelah tetap ku kayuh untuk menyelesaikan track ini, karena puncak semakin dekat.
Akhirnya track licin ini terlewati, selanjutnya aku harus melewati track pasir lagi untuk mencapai puncak. Masalah. Kerongkonganku mulai kering, sementara aku tidak membawa air, sedikitpun tidak. Aku hanya membawa 4 Coki-coki, 1 batang coklat murahan, dan beberapa bungkus wafer Superman. Aku berhenti sejenak, membuka coklat, memakannya, lalu mulai melangkahkan kaki di jalur pasir ini. Track terakhir ini benar-benar berat, 5 langkah berhenti, melangkah lagi, berhenti lagi, berjalan, merangkak lagi, berhenti. Kulihat ada beberapa orang yang sedang berfoto-foto di puncak. ternyata memang sudah dekat, tapi kakiku benar-benar lelah, “ngethuk poll!!”. Tapi aku teringat lagi akan perjuanganku untuk sampai ke tempat ini. Banyak yang telah kami korbankan untuk mengikuti PenMas ini. Kakex, ririt, Ian dan agus yang sampai harus lecet-lecet, motor Ririt yang harus pecah kaca lampunya, dan juga lecet-lecet di sekujur body-nya seperti juga motor Kakex. Jadi kupikir, mungkin akan sedikit lebih bermakna jika ada yang sampai puncak mewakili bendera-bendera mereka, PMTG adventure, Mapadegama, dan Brahmahardhika.
“…yang kita butuhkan sekarang hanya kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan mulut yang akan selalu berdoa…”
Quote dalam 5 cm.-nya Donny Dhirgantoro itu terngiang lagi. Ya..puncak itu tinggal 5 cm. di depanku. Aku kembali melangkah sekuat tenaga, meski kadang berhenti, lalu melangkah lagi. Semakin dekat, semakin berat. Dan akhirnya…

PUNCAK SLAMET (±3410 mdpl) 5 Juni 2011, 09.10 WIB

Alhamdulillah!! Aku langsung bersujud sambil terus bersyukur aku bisa mencapai puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah ini. Para pendaki yang tadi kulihat dari track kemudian menyalamiku dan memberi selamat kepadaku. Mereka dari Mapakti (Mapala Universitas Pancasakti, Tegal) yang naik gunung sendiri, tidak ikut PenMas. Rasa lelah dan haus hilang begitu saja oleh euphoria puncak. Seperti biasanya, aku masih saja takjub menikmati keindahan alam dari ketinggian. Gunung Cireme masih terlihat diantas gumpalan awan. Jalur yang kulalui ternyata sangat “extreme” jika dilihat dari atas. Kawah Timbang di sisi timur Puncak Slamet tak berhenti mengepulkan asap putih. Akupun memberanikan diri untuk “meminta” 1 jepret foto dari mereka sebagai kenang-kenangan. Tidak hanya sekali, bahkan Putra (yang punya kamera) memotretku beberapa kali. Memang, keramahan dan kebaikan para pendaki gunung patut diacungi jempol. Mereka mau berbagi foto, bahkan berbagi kopi pada orang yang baru dikenalnya beberapa menit saja. Sebelum turun, seperti kebiasaan baruku, aku mengambil pasir dan kerikil di tanah tertinggi ini dan memasukkannya ke dalam botol air mineral yang ku temukan di jalur saat merangkak ke puncak. Suatu saat, mungkin pasir dan kerikil itu akan membuatku tersenyum jika melihatnya.

PMTG adventure and BIO_EDC'09 on the summit of Mt. Slamet




with MAPAKTI

with MAPAKTI
Aku kemudian turun setelah cukup menikmati ketinggian ini. Memang hanya sekitar 10 menit, tapi sangat bermakna setelah semua perjuangan yang telah kulalui bersama teman-temanku. Mungkin mereka belum mengetahui kalau aku berhasil mencapai puncak. Aku berharap hal ini benar-benar bisa membuat mereka sedikit tersenyum diantara rasa dongkol dan lelah mereka. Setelah melambaikan tanganku pada Kawah Timbang yang masih mengepulkan asap putih, aku melangkahkan kakiku meninggalkan puncak tertinggiku ini. Perjalanan turun memang lebih ringan di track pasir, tapi lebih sulit pada track kerikil dan batu, karena jalurnya cukup curam dan juga licin. Tapi secara keseluruhan, turun memang lebih cepat dari pada naik, meski motivasi tak sebesar saat summit attack.
Beberapa menit kemudian, aku melihat 2 temanku, Ian dan Agus yang berhenti di pertengahan jalur puncak. Aku segera menghampiri mereka, yang ternyata masih bersemangat untuk mendaki hingga puncak. Memang sayang sekali jika harus berhenti sampai di situ saja, karena puncak memang tinggal sebentar lagi. Dan kondisi puncakpun aman-aman saja, tak seperti yang dikhawatirkan para panitia. Pertempuran hati pasti tengah berkecamuk di diri mereka masing-masing. Saking dilemanya, Agus sampai menghitung kancing untuk mengambil keputusan. (Padahal jaketnya tidak berkancing. Hahaha.. Gembell!!). setelah meminta beberapa jepret foto dari kamera Agus, aku kemudian turun ke tempat Ririt, Endock, Agus Brahma dan Gareng berhenti. Mereka berembuk juga. Ternyata mereka juga dilema, antara kemauan dan semangat untuk lanjut atau turun dan melepaskan kesempatan ini. Dan akhirnya, diputuskan untuk turun ke camp. Ya, aku kira ini keputusan yang bijak, karena jika memaksakan untuk terus naik, mungkin akan menimbulkan sedikit masalah dengan panitia. Aku kemudian memberi tanda pada Ian dan Agus untuk turun. Setelah kami semua berkumpul, kecuali Kondex yang turun lebih dulu, kami segera menuruni jalan terjal berbatu ini.
Kami berharap perkampungan telah sepi dan semua peserta telah turun saat kami lewat, tapi ternyata tidak. Masih banyak dome peserta yang masih berdiri, camp panitia pun masih ada. Kami hanya lewat dengan sedikit basa-basi jika bertemu peserta atau panitia. Mood ramah kami seperti hilang. Kami terus berjalan turun, kadang berlari, menuruni jalur yang tadi pagi kami lewati.
Setengah jam kemudian, kami sampai di Pondok Edlweiss, camp-camp yang tadi pagi masih berdiri kini sudah tak ada. Tapi Alhamdulillah, Kakex yang kami tinggalkan tadi pagi masih utuh tanpa kurang satu apapun. Kamipun bergegas membongkar dome, packing, lalu turun menuju basecamp Guci tanpa makan siang. Untuk mengganjal perut kami yang sudah saatnya diisi, kami hanya makan roti tawar plus susu coklat. Persediaan air yang limited kami bagi untuk persediaan individu, aku di beri Agus Brahma yang mempunyai persediaan air di daypack-nya. (Thankz Bro..)
Sekitar pukul 10.30 kami meninggalkan camp kami di Pondok Edlweiss, perjalanan kami masih jauh. Kaki mulai terasa hilang “sekrupnya”, sedikit bergetar, tapi mau tidak mau aku harus tetus berjalan sampai Guci. Aku berjalan paling belakang diantara rombongan Jogja-Solo ini (padahal yang asli Jogja Cuma Agus, dan tidak ada yang asli Solo). Ririt, Kondex, Agus Brahma dan Gareng langsung tancap gas, sebentar saja mereka tak lagi terlihat. Melesat diantara lebatnya hutan Gunung Slamet. seperti saat naik, kadang masih antri dengan peserta lain karena masih ada beberapa yang belum turun. Hingga Pos IV, kami (Aku, Endock, Ian, Kakex, agus) masih berjalan beriringan, tapi selepas Pos IV Endock, Ian, dan Agus mulai berlari dan meninggalkan Aku dan Kakex. Aku dan Kakex memutuskan untuk berjalan pelan, dengan sedikit berlari. Di sepanjang perjalanan kami ngobrol seadanya, dan ternyata dia baru tahu kalau aku berhasil mencapai Puncak. Puncak ini (juga) untukmu Kawan...
Perjalanan kami cukup stabil, hanya berhenti sesekali saja. Kami benar-benar istirahat di Pos III, kami berhenti dan duduk bersama peserta lain, itupun hanya sebentar. Lalu kami melanjutkan perjalanan yang kami targetkan Jam 03.00 sudah sampai di basecamp Guci. Di tengah perjalanan, aku terpaksa menerobos ke semak-semak di pinggir jalan setapak karena sudah tidak tahan lagi. Untung tidak ada yang lewat. Banyak sekali air kencingku, kalau dihitung-hitung mungkin ada 1 liter. Hahaha.. Lanjut... Di shelter antara Pos III dan Pos II aku berhenti, menunggu Kakex yang sudah sangat kebelet sekali dan harus gali lobang di antara semak-semak. “Leganya..” Kata Kakex setelah tutup lobang…
Di Pos I kami bertemu Kondex yang sudah bersiap untuk turun, tapi niatnya diurungkan. Kami berhenti sejenak untuk istirahat dan makan agar-agar yang tadi pagi dibuat Kakex. Lalu kami turun sambil ngobrol-ngobrol di sisa perjalanan ini. Track berbatu di bawah Pos I membuat langkah kami melambat. Kami sampai di check point pada pukul 03.10, dan langsung menghampiri Ririt dkk yang telah sampai lebih dulu. Setelah makan nasi bungkus dari panitia, aku kemudian shalat Ashar bersama Kakex. Sekitar pukul 4.30 bersama rombongan Jogja-Solo (kecuali Kondex dan Agus Brahma), aku menuju tempat pemandian air panas, tepatnya Pancuran 5. Nikmat sekali rasanya, berendam air panas alam saat badan pegal-pegal setelah naik gunung. Mantabs!!
Satu jam kemudian, kami menyudahi acar berendam yang menyenangkan ini dan langsung menuju masjid untuk shalat Maghrib. Setelah shalat, kami bersembilan melesat meninggalkan Taman wisata Air Panas Guci dan menuju rumah Mas Jack, Bumijawa. Rencananya di Bumijawa hanya sebentar, sekedar memenuhi janji untuk mampir lagi saat turun, namun kenyataannya kami baru pamit pada pukul 9.30 malam. Aku, Endock, Ian, Kakex, agus dan Ririt langsung meluncur ke Cilacap melalui jalur alternatif Bumijawa-Linggapura, sedangkan gareng, Kondex, dan Agus Brahma ke tempat teman mereka di Kota Tegal. Seperti yang dikatakan Maz Jack, jalannya memang cukup rusak, berlobang, naik-turun dan sepi karena melewati “mBulak”, tapi memang 1 jam lebih cepat dibandingkan melalui Banjaranyar. Sekitar pukul 11.30, kami berhenti di pinggir jalan daerah Ajibarang karena Agus rada ngantuk. Semuanya tidur, kecuali aku dan endock, di kursi-kursi dan meja yang ada di sana. Ririt terbangun mendengar “nyanyian” Agus, lalu kami ngobrol tentang rencana ke Mahameru dan Argopuro..


6 Juni 2011
Pukul 12.30 kami berangkat lagi, dan berhenti lagi selama 25 menit di Alfamart di Kota Ajibarang untuk membeli minum dan permen, ngobrol-ngobrol, ketawa-ketawa di pinggir jalan. Cen ngGembel tenan!! Lanjut… dan satu jam kemudian, tepatnya Pukul 02.09 Senin dini hari, kami sampai di rumah Endock di Cilacap. Setelah shalat Isya’, kami berenam langsung tidur..sampai pagi…
. . . . . . . . . . . . .