Salah satu mimpiku telah kugapai, Duduk di tugu Puncak Triangulasi Pangrango, dan menyepi di Mandalawangi..Lembah mandalawangi memang indah, sepi, karena tak banyak yang nge-camp di sini.paling tidak tak sebanyak di Alun-alun Surya Kencana. Setengah jam menikmati Edlweiss, Bunga-bunga yang manis kalau kata Soe Hok-gie. Jadi ingat dengan Puisi Soe Hok-gie yang cukup di kenal di kalangan Mapala dan para pendaki gunung seperti ku..Puisi yang memakai tempat ini sebagai judulnya.. "Mandalawangi-Pangrango"
Mandalawangi-Pangrango
Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurang mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya"
tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
terimalah dan hadapilah
dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas-batas hutanmu,
melampaui batas-batas jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya"
tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
terimalah dan hadapilah
dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas-batas hutanmu,
melampaui batas-batas jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta, 19 Juli 1966
Serta 2 Puisi lain yang menyebut Lembah Mandalawangi di dalamnya..
Sebuah Tanya
Akhirnya semua akan tiba pada pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku
(Kabut tipispun turun pelan-pelan di lembah kasih,
lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Kau dan aku tegak berdiri
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
Apakah kau masih membelaiku selembut dahulu
ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,
lebih dekat
ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,
lebih dekat
(Lampu-lampu berkedipan di Jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
Apakah kau masih akan berkata kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta
(Haripun menjadi malam kulihat semuanya menjadi muram
wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti
seperti kabut pagi itu)
wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti
seperti kabut pagi itu)
Manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru
Selasa, 1 April 1969
dan ini puisi terakhir Soe Hok Gie yang tak berjudul..
Ada orang yang menghabiskah waktunya berziarah ke Mekah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktu di sisimu, sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang manis di Lembah Mandalawangi
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang manis di Lembah Mandalawangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
Mari sini sayangku
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak ’kan pernah kehilangan apa-apa
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak ’kan pernah kehilangan apa-apa
Selasa, 11 November 1969
Begitu cintanya Gie pada Mandalawangi..tapi memang, Lembah seluas 5 hektar yang ditumbuhi Edlweiss itu benar-benar indah..dan sepi...dan di situlah Jasat Soe Hok-gie yang telah di kremasi menjadi abu di tebarksn..disebar di antara Bunga-bunga manis, rerumputan, mata air, jurang-jurang..di seluruh penjuru Lembah Mandalawangi..Suatu saat aku akan kembali mengunjungimu, Mapala Sejati..Pendaki gunung yang abadi...di tempatmu menyepi, Lembah Mandalawangi...
thanks dah berkunjung ke blog ku..mandalawangi nan dingin dan sepi akan selalu ku rindu..
BalasHapussalam lestari...
sama2...
BalasHapusaku juga pengen kembali mengunjungi mandalawangi lagi...
pengen ngcamp di sana...
bdw..siapa dimana?
CATATAN SEORANG DEMONSTRAN
BalasHapusPenulis : Soe Hok Gie
Penerbit : Pustaka LP3ES
Halaman : xxx+385 hlm (SC)
Ukuran : 15.5 x 23
Harga : Rp 60.000
'Catatan Seorang Demonstran' Sebuah buku tentang pergolakan pemikiran seorang pemuda, Soe Hok Gie. Dengan detail menunjukkan luasnya minat Gie, mulai dari persoalan sosial polotik Indonesia modern, hingga masalah kecil hubungan manusia dengan hewan peliharaan. Gie adalah seorang anak muda yang dengan setia mencatat perbincangan terbuka dengan dirinya sendiri, membawa kita pada berbagai kontradiksi dalam dirinya, dengan kekuatan bahasa yang mirip dengan saat membaca karya sastra Mochtar Lubis.
"Gie", banyak menulis kritik-kritik yang keras di koran-koran, bahkan kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat kaleng yang memaki-maki dia " Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja". Ibunya pun sering khawatir karena langkah-langkah "Gie" hanya menambah musuh saja.
"Soe Hok Gie" bukanlah stereotipe tokoh panutan atau pahlawan yang kita kenal di negeri ini. Ia adalah pecinta kalangan yang terkalahkan dan mungkin ia ingin tetap bertahan menjadi pahlawan yang terkalahkan, dan ia mati muda.
Semangat yang pesimis namun indah tercermin dimasa-masa akhir hidup juga terekam dalam catatan hariannya : "Apakah kau masih disini sayangku, bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu."
"aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan dan harapan
bersama hidup yang begitu biru", Gie
sms 0821.3382.2284