Sebuah
Catatan Perjalanan Pendakian Merapi #13, 24-25 Agustus 2012
Sudah 5 bulan aku tak
mengunjungi Merapi setelah pendakian bersama teman-teman eLKaPe bulan april
lalu. Hari ini kembali ku injakkan kakiku di pasir merapi, bergelut dengan
debu-debu etape ladang dan hutan, menepis kerasnya angin dingin malam musim
kemarau, serta melawan dinginnya tidur tanpa tenda dome di atas ketinggian 2700
mdpl. Bersama 3 teman crew PMTG adventure kuhadapi semua itu, Kakex C-001-PMTG, Ian C-004-PMTG, dan Ardy
C-043-PMTG. Dan aku sendiri Arie C-007-PMTG.
Jum’at, 24 Agustus 2012
Siang ini setelah
menyelesaikan keperluan di kampus dan bertemu dengan teman-teman kuliah, aku
memacu motor biruku melewati padatnya arus balik jalan Jogja-Magelang sambil
menikmati view gunung Merapi dan Merbabu yang terlihat cerah semenjak pgi tadi.
Benar-benar cerah, semoga cerahnya bertahan sampai besok, harapkuku dalam hati.
Sesampainya di rumah (Muntilan), Kakex dan Ian sudah disana menunggu. Aku
segera shalat Ashar lalu packing karena jam menunjukkan pukul 16.15, molor
hampir 1 jam dari planning. Seperti biasa.
Aku hanya memakai daypack Tagolu-Merah ku karena barang
yang kubawa tak banyak, hanya Sleeping
Bag (SB), Nisting+kompor+gas, senter, dan bekal untuk makan malam di basecamp, sedikit cemilan THR (Turahan
Hari Raya), dan pakaian yang menempel
di badan. Simple. Setelah packing selesai, kami bertiga berangkat menjemput Ardy
di rumahnya, Blabak, kemudian pukul 17.30 melanjutkan perjalanan menuju
Basecamp Pendakian Merapi, mampir shalat Maghrib di masjid megah di daerah
Tlatar Sawangan, lalu memacu motor lagi hingga Selo.
Akhirnya kami sampai di
Basecamp Barameru setelah menembus dinginnya suhu yang menggigit sepanjang
perjalanan. Ramai sekali, seperti penmas. Mungkin karena libur lebaran, banyak
yang sudah puasa mendaki selama Ramadhan, atau memang memanfaatkan waktu libur/
cuti untuk mendaki gunung teraktif di dunia ini. Paling banyak adalah motor
dengan plat AD, daerah Surakarta, ada juga rombongan pendaki Jakarta dan
Wonosobo. Basecamp penuh, tapi kami tetap akan mendaki gunung ini.
Acara di basecamp adalah
duduk-duduk, mengistirahatkan badan, makan malam, dan ngobrol-ngobrol dengan
beberapa pendaki lain. Semula kami berencana untuk tidur di basecamp dan mulai
mendaki pada pukul 2 pagi karena kami tidak membawa dome, namun kami memutuskan
untuk mulai mendaki dan akan tidur di Goa setelah Watu Gajah, atau tempat
manapun yang cukup “nyaman” untuk tidur. Benar-benar outdoor. Hehe..
Setelah registrasi dan
berdoa, pukul 20.50 kami berempat memulai pendakian dari Basecamp Barameru
Merapi. Angin dingin tetap berhembus, tanpa jaket awal pendakian terasa dingin.
Setelah melewati NEW SELO, etape ladang menghadang. Jalur di etape ladang ini
sangat berdebu. Parah. Maklum saja, bulan-bulan akhir musim kemarau, dimana
persediaan air sangat tipis, sehingga hujan lokal ataupun embun tak pernah
terjadi lagi.
Perjalanan melewati etape
ladang terasa lebih berat dari biasanya, karena debu-debu yang menutupi jalur
pendakian akan ‘meledak’ saat diinjak. Membuat pernapasan sedikit sesak dan
mata sedikit perih terkena butiran-butiran debu yang beterbangan hingga
tersorot headlamp-ku. Kakiku yang
hanya memakai sandal gunung juga sudah tak berbentuk lagi. Berdebu. Begitu juga
celana hitamku. Aku lupa bahwa ini musim kemarau. Tau begini aku tak akan
memakai celana hitam.
Etape ladang akhirnya
selesai yang ditandai oleh sebuah gapura baru bertuliskan “Selamat Datang Di
Taman Nasional Gunung Merapi” yang berdiri di awal etape hutan, perbatasan
antara ladang penduduk dengan taman nasional. Di Gapura/ shelter baru ini kami
bertemu dengan beberapa rombongan pendaki lain yang beristirahat, salah satunya
yaitu rombongan Garba Wira Buana, Mapala UNS yang tadi berangkat lebih dulu
dari basecamp. Aku dan ketiga temanku hanya berhenti sebentar, lalu segera
tancap gas melanjutkan pendakian menuju Pos I.
Etape hutan juga berdebu,
dan jalur pendakian kian bulani kian parah saja. Prihatin, tapi apa yang bisa
kita lakukan?? Beberapa menit kemudian kami sampai di percabangan. Ke kiri
adalah jalur Kartini, jalannya terlihat landai, sedangkan ke kanan adalah jalur
utama, jalan terlihat menanjak dari percabangan. Kami memilih kanan. Jalur
setelah percabangan didominasi oleh tanjakan yang cukup licin karena lapisan
debu. Napas terasa lebih sesak karena debu dan tipisnya oksigen malam hari di
gunung. Kaki dan celana juga semakin parah oleh debu yang terinjak.
Tanjakan terakhir
terlihat, berarti Pos I tinggal beberapa langkah lagi, dan benar saja, Aku dan
Ian sampai di Tugu Triangulasi Pos I pada pukul 22.05. sangat cepat menurutku,
biasanya 2 jam baru sampai Pos I. Kami segera duduk, melepas beban di pundak,
Begitu juga Kakex dan Ardy setibanya di Pos I. Tubuh sudah mulai basah,
membasahi kaos kebesaran kami. Meski suhu malam ini dingin, berjalan mendaki
tetap membuat kami berkeringat. Tapi setidaknya Track Basecamp – Pos I sudah
terlewati, karena inilah bagian terberat dalam pendakian Merapi. Menurutku.
Setelah cukup
beristirahat (±30 menit), kami memakai lagi daypack dan carrier kami dan
mulai melangkah meninggalkan pos I. Menaiki, melewati, dan menuruni celah
antara 2 batu, lalu melewati jalan sempit. Hati-hati di sini, lihat kanan kiri.
Track selanjutnya berupa jalan berbatu dan sedikit menanjak, tapi tak securam
track sebelum pos I. Setelah berjalan sekitar seratus meter, ada percabangan
yang akan ditemui. Ke kiri merupakan jalur utama dengan track berbatu dan
menanjak cukup curam karena merupakan jalur di punggungan bukit, sedangkan ke
kanan jalan sedikit menanjak, lalu menurun dengan track tanah, ini merupakan
Jalur Lumut.Kami memilih ke kanan, ke Jalur Lumut.
Jalur Lumut lebih landai
karena merupakan lembah antara punggungan jalur pendakian dan sebuah punggungan
lainnya. Jalurnya sempit dengan sisi kanan lereng, dan beberapa kali jurang/
lubang dalam menganga di kanan jalur pendakian. Terakhir kali melewati jalur
utama saat naik adalah pendakian 17 Agustus 2010 bersama Lilik C-022-PMTG dan
Herry C-023-PMTG, setelah itu setiap naik merapi pasti melewati Jalur Lumut.
Lebih asik.
Jalur Lumut juga berdebu,
tapi juga tak separah etape ladang dan hutan. Dan setelah sekitar satu jam
berjalan santai akhirnya kami sampai di pertemuan jalur. Kami beristirahat
lagi, duduk menghindari angin yang bertiup kencang, dan dingin. Melihat jam
ternyata baru pukul 23.30. Di jalur utama ini kami menemukan tempat yang tak
terkena angin. “Nyaman untuk tidur”
Pikirku. Tapi kami masih belum memutuskan akan tidur di mana, mengingat kami
tidak membawa dome. Pasti akan dingin tidur malam ini. Entah kedinginan di
Pasar Bubrah, Goa, atau ceruk di jalur pendakian, atau entah di mana. Dan pada
akhirnya, kami berjalan melewati Watu Gajah, dan berhenti di Goa. Tepat jam
24.00. Kami segera bongkar daypack dan carrier, dan segera membungkus tubuh
kami dengan SB. Selamat tidur...
Sabtu, 25 Agustus 2012
“Sunrise!! Sunrise!!”
Suara Kakex dan Ardy yang
sudah bangun lebih dulu memaksaku bangun. Aku melihat jam HP-ku, ternyata sudah
pukul 05.00, dan ufuk timur sudah mulai menggaris sinar jingga. Malam ini tak
senyenyak saat dulu mendaki berdua dengan Kakex 2-3 September tahun lalu, kali
ini aku sering terbangun karena angin dingin yang membelai kepala dan leherku
yang tak terbungkus SB. Aku segera
shalat Subuh, lalu mengabadikan goresan sunrise
yang selalu memikatku hingga kini.
Setelah packing SB, kami mulai pendakian ke puncak baru
Merapi. Kami mulai mendaki karang-karang di sisi kanan di atas Goa, kemudian
menyusuri punggungan terbuka menuju Memoriam. Sejenak berhenti di Memoriam sambil menikmati pemandangan
dari tempat yang sudah 13 kali kukunjungi ini. Banyak pendaki yang sudah sampai
puncak, terlihat titik-titik hitam yang bergerak di bibir kawah Merapi.
Beberapa dome terlihat berdiri di Camping site Pasar Bubrah yang masih gersang.
Beberapa pendaki terlihat mulai summit attack, kami juga.
Berangkat pukul 06.00
dari Memoriam, kami menuruni jalan, membelah Pasar Bubrah, berpijak pada
batu-batu dan kerikil, kemudian sampai di track pasir lereng puncak yang
menanjak dan cukup curam. Kami menyeberangi lereng pasir ke arah kiri, kemudian
mendaki kerikil-kerikil yang cukup bisa membuat kita tergelincir jika tak
hati-hati. Lalu menyeberangi pasir lagi menuju tebing karang batuan muda di
sisi kiri. Di tebing ini pendakian lebih mudah dan aman karena pijakan lebih
stabil dan tidak licin. Setelah tebing karang, kami melewati lereng berpasir
dan kerikil ke arah tengah. Jalur mendekati puncak tetap curam dan terjal,
namun asalkan kita hati-hati dan tidak semberono, pendakian puncak akan tetap
aman.
Alhamdulillah, setelah
berjuang melawan rasa lelah di kaki, melewati pasir, kerikil, batu, hingga
tebing karang akhirnya kembali kuinjakkan kakiku di dataran puncak baru Merapi
pada pukul 06.55 waktu setempat. Kali kesembilan kugapai puncak Merapi, dan
masih selalu takjub dengan cakrawala. Aku memilih ke bibir kawah sebelah kiri,
ke arah celah erupsi 2010 lalu. Sebenarnya titik tertinggi gunung Merapi berada
di sisi kanan, tapi akau tak mau mengambil resiko karena batuan puncak masih
belum stabil, dan kulihat bagian yang kemarin gugur dan menyebabkan hujan abu
adalah dataran puncak tertinggi di sisi kanan. Aku masih ingin mendaki gunung,
dan aku masih ingin ke Mahameru.
Acara puncak kuisi dengan
berfoto-foto dengan view yang cerah
berawan. Memang tak sebersih kemarin, tapi tetap keren. Banyak juga pendaki
yang juga baru sampai di puncak, yang tadi terlihat dari memoriam sudah turun
lebih dulu. Puncak memang tidak cukup untuk menampung banyak (sekali) orang.
Karena puncak hanya berupa bibir kawah yang cukup tipis dan sempit, tak seperti
dataran puncak sebelum Erupsi 2010, luas. Jadi dari puncak bisa terlihat kawah
beserta tebing dinding kawah yang masih mengepulkan asap belerang. Mendaki
gunung berapi dan bisa melihat kawahnya secara langsung adalah sesuatu yang
cukup menarik.
Setelah cukup lama
bersantai-santai di puncak, kami memutuskan untuk turun pada pukul 07.50.
Perjalanan turun lebih cepat tapi lebih mengerikan, karena melihat track yang
curam dan licin. Kami turun melalui sisi kiri (barat), yang langsung mencapai
ujung lereng pasir. Di lereng pasir, perjalanan turun menjadi lebih enak dan
sangat cepat, karena kita tak takut sakit jika terjatuh, dan kami bisa berlari
menuruninya. Setengah jam kemudian kami sampai di dataran Pasar Bubrah, dan
lima menit kemudian (08.25) sampai di Memoriam.
Sebentar berhenti di
Memoriam, mengambil beberapa foto lagi dari Memoriam di siang hari, kemudian
menuruni punggungan terbuka, menuruni tebing karang, melewati Goa, Watu Gajah,
tebing-tebing batu, dan akhirnya sampai di pertemuan jalur lumut dengan jalur
utama. Kami kembali memilih jalur lumut untuk turun, lebih nyaman dan teduh.
Terakhir kali aku melewati jalur utama untuk turun adalah saat mendaki bersama
Sidiq C-006-PMTG, Lilik C-022-PMTG, dan Saladin C-032-PMTG karena kondisi
sedang hujan dan akan licin jika turun melalui jalur lumut.
Dengan sedikit berlari
aku dan Kakex memimpin di depan melewati jalan setapak di antara semak-semak.
Cuaca masih cerah saat turun, hanya tambah berawan. Akhirnya sampai juga di
pertemuan jalur, dan pukul 09.30 kami sampai di Pos I. Kami memilih
beristirahat di camping site Pos I
yang bisa didirikan ! dome besar. Kami segera bongkar muat, memasak mie+ayam (=
mie ayam) untuk sarapan kami pagi ini, serta se-nisting cappucino untuk menyegarkan kerongkongan. Sembari
ngobrol-ngobrol dan menghisap (bagi ahli hisap), kunikmati view Sumbing,
Sindoro, Dieng, Prahu, serta Slamet di sisi barat sana.
Setelah menyantap habis
sarapan kami, pukul 10.40 kami packing dan melanjutkan perjalan turun kami
untuk bisa segera sampai di Basecamp
lagi. Dan kembali bergelut menembus debu yang akan lebih parah berterbangan
karena terseok sepatu dan sandal yang merosot ataupun berlari. Aku membiarkan
mereka turun lebih dulu, sambil menunggu beberapa saat hingga debu terbawa
angin lalu baru menuruni turunan curam berdebu di etape hutan. Hingga “Pohon
Tumbang” (tempat yang biasa kami tempati untuk istirahat kedua saat mendaki
merapi), aku selalu memberi jarak turun. Dari “Pohon Tumbang” aku mengambil
jalur kanan, sementara mereka bertiga melalui jalur utama. Jalur kanan
merupakan jalur memutar melewati punggungan kanan jalur, dulu biasanya dipakai
oleh penduduk. Aku memilih jalur ini karena pasti akan sedikit lebih tidak
berdebu dibandingkan jalur utama.
Jalur yang kupilih masih
terlihat jelas meski banyak tertutupi semak dan ranting-ranting. Meskipun tak
hafal, aku tetap yakin dan hanya mengikuti jalan setapak sambil melihat
punggungan kiri sebagai patokan. Dan setelah beberapa saat agak berlari
mengikuti jalur, terlihatlah jalan setapak yang menghubungkan punggungan ini
dengan punggungan jalur utama. Akhir dari jalur ini adalah batas Taman
Nasional, Gapura Selamat Datang.
Dari batas Taman Nasional
ini kami mengambil jalur alternatif lain di punggungan sebelah kiri, karena
kami tak ingin bergelut dengan debu “berlebih” di etape ladang yang pasti juga
sangat licin. Jalur alternatif ini juga merupakan jalur penduduk untuk naik –
turun mencari rumput. Tak lama kemudian terlihatlah baliho NEW SELO di sisi
depan kanan kami. Kami kemudian mengikuti jalur menurun melewati sungai kering
dan naik menuju punggungan utama. Hari ini hari minggu, seperti biasa, banyak
yang “ke sawah” dengan pakaian yang “necis” alias keren. Merekalah pasangan
muda-mudi yang entah berasal dari mana, dan kesini untuk pacaran di ladang. Gak
Elite beroo!!
Track etape ladang masih
tersisa sedikit, aku melewatinya dengan berlari agar cepat bisa santai-santai
di New Selo. Begitu sampai di New selo (11.30), kami memesan es teh di salah
satu warung. Segerr.. Banyak juga pengunjung New Selo hari ini, ada rombongan
keluarga, tapi kebanyakan memang mereka yang ingin berduaan di keramaian
(soalnya yang pacaran banyak). Beberapa pasangan terlihat baru sampai, dan
terus berdatangan selama kami dudu-duduk di joglo.
Cukup lama kami bersantai
di sini, mengistirahatkan kaki yang lelah, sambil ngobrol-ngobrol dengan
pendaki lain, serta salah satu pengunjung. Hingga kemudian kami turun menuju basecamp pada pukul 12.00. Track aspal
masih tersisa kawan. Sepuluh menit kemudian kami sampai di Basecamp Barameru, kemudian beristirahat lagi di sini, membersihkan
tangan dan kaki yang sudah seperti Telo (ketela) karena debu. Celana dan
daypack juga berdebu, ramputpun tak luput. Persediaan air di daerah ini sedang
limited, sehingga kami tidak bersih-bersi dengan bersih, biarlah terlihat kalau
kami baru saja turun gunung. Hehe..
Pukul 12.45 kami
meninggalkan basecamp, menjauhi Merapi yang terlihat berkilau seperti perak
(Silver). Sampai bertemu lagi Debu Merapi, kerikil, batu, tebing, angin, Jalur
Lumut, Watu Gajah, Goa, Memoriam, Pasar Bubrah, puncak, kawah, dan asap
Sulfatara..
“Karena
gununglah orang-orang seperti kita ada,
dan karena orang-orang
seperti kitalah gunung memiliki makna.” - Ari Fendianto -
PENDAKI :
Taufiq
Bayu Pamungkas, A.Md. a.k.a Kakex
C-001-PMTG
Septian
Baskoro Adi, S.Kom. a.k.a Ian C-004-PMTG
Ari
Fendianto a.k.a Arie C-007-PMTG
Ardy Wicaksono a.k.a Ardy C-043-PMTG
Ardy Wicaksono a.k.a Ardy C-043-PMTG