Selasa, 23 April 2013

CLARA SUMARWATI : Orang Indonesia dan Asia tenggara Pertama yang Capai Puncak Everest



Pendaki pertama dari Indonesia yang menginjak puncak Everest pada ketinggian 8.848 meter adalah seorang Clara Sumarwati. Ternyata prestasinya itu juga menjadikan dirinya orang Asia Tenggara yang pertama sampai di puncak Everest, yaitu pada tanggal 26 September 1996. Namanya dan tanggal pencapaiannya tercatat antara lain di buku-buku Everest karya Walt Unsworth (1999), Everest: Expedition to the Ultimate karya Reinhold Messner (1999) dan website EverestHistory.com, sebuah referensi andal akan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendakian gunung di dunia.
Kesangsian akan peristiwa bersejarah yang dicatatnya itu datang dari berbagai pihak di tanah air, semata-mata karena dianggap tidak memberi cukup bukti, contohnya seperti foto yang menunjukkan ia memegang bendera yang tertancap di puncak. Namun di berbagai sumber pencatatan dunia, Clara diakui sebagai penakluk puncak Everest ke-836. Masyarakat pendaki gunung internasional pun sudah maklum bahwa Clara adalah orang Indonesia dan juga orang Asia Tenggara pertama yang sampai ke puncak Everest.
Lahir tanggal 6 Juli 1967 di Yogyakarta, anak ke-6 dari delapan putera-puteri pasangan Marcus Mariun dan Ana Suwarti. cita-cita Clara sewaktu kecil adalah menjadi ahli hukum, tetapi ia tidak bisa menolak ketika kakak laki-lakinya menyekolahkannya di Universitas Atmajaya jurusan Psikologi Pendidikan. Saat kuliah ia ingin menjadi pembimbing dan juru konseling di SMU. Tetapi begitu lulus universitas di tahun 1990, haluannya samasekali berubah ketika ia gabung dengan ekspedisi pendakian gunung ke puncak Annapurna IV (7.535 meter) di Nepal. Rekannya, Aryati, berhasil mencatatkan diri sebagai perempuan Asia pertama yang mencapai puncak itu pada tahun 1991. Pada Januari 1993, Clara bersama tiga pendaki puteri Indonesia lainnya menaklukkan puncak Aconcagua (6.959 meter) di pegunungan Andes, Amerika Selatan.
Sebenarnya pendakian Everest tahun 1996 itu bukan ekspedisi Everest yang pertama bagi Clara. Pada tahun 2004, ia bersama lima orang dari tim PPGAD (Perkumpulan Pendaki Gunung Angkatan Darat) berangkat tetapi hanya mampu mencapai ketinggian 7.000 meter karena terhadang kondisi medan yang teramat sulit dan berbahaya di jalur sebelah selatan Pegunungan Himalaya (lazim disebut South Col). Kegagalan mencapai puncak ini justru membuat Clara Sumarwati semakin penasaran dan bercita-cita untuk mengibarkan Merah-Putih di puncak Everest pada 17 Agustus 1995, tepat 50 tahun Indonesia merdeka. Sebanyak 12 perusahaan ia hubungi waktu itu untuk mendapatkan sponsor. Biaya yang ia butuhkan tidak sedikit, mencapai Rp 500 juta, karena memang segitulah biaya yang harus dikeluarkan siapa pun yang ingin menaklukkan Everest waktu itu. Tidak ada jawaban. Menurut Clara, bahkan ada pihak perusahaan yang meragukan kemampuannya sehingga enggan memberi sponsor.
Salah satu pihak yang ia hubungi untuk sponsor adalah Panitia Ulang Tahun Emas Kemerdekaan Republik Indonesia, yang dibawahi Sekretariat Negara. Clara dipanggil menghadap pada bulan Agustus 1995 dan mendapat konfirmasi bahwa Pemerintah bersedia mensponsori ekspedisinya. Sertamerta Clara menjadwal-ulang ekspedisi yang seharusnya memancang bendera Indonesia di tahun 1995. Ia mencanangkan ekspedisi berangkat di tahun berikutnya, pada bulan Juli 1996. Ternyata pengunduran jadwal itu mempunyai makna tersendiri karena pada tahun 1995 itu terjadi badai dahsyat di Himalaya yang menewaskan 208 pendaki dari berbagai negara.
Berikut ini adalah suatu penuturan langsung Clara Sumarwati kepada majalah Gatra di tahun 1996 tentang pengalamannya mulai dari persiapan hingga mencapai puncak Everest.
“Secara fisik sebenarnya kami sudah siap,” kata Clara. Kesiapan fisik memang dilatihnya sejak ide pendakian itu muncul di benaknya, pada tahun 2004. Mulai pukul 07.00, ia berlatih lari mengelilingi Stadion Senayan, Jakarta, selama dua jam, di bawah pengawasan Gibang Basuki, anggota Komando Pasukan Khusus berpangkat sersan dua. Kemudian sore hari, ia melatih otot di Pusat Kebugaran Hotel Grand Hyatt, Jalan Thamrin, Jakarta. Sedangkan siang, ia berkeliling keluar-masuk kantor untuk mendapatkan sponsor.
Agar tubuhnya tahan menghadapi hawa dingin dan salju, Clara berendam di kolam renang Senayan, Jakarta. “Karena terlalu sering, sampai-sampai penjaga kolam renang menganjurkan agar kami membeli karcis langganan,” kata Gibang Basuki. Selain itu, sebulan sekali Clara melakukan latihan naik-turun gunung sambil membawa beban. Mulai dari Gunung Gede, Jawa Barat, sampai ke puncak Soekarno di Pegunungan Jayawijaya, Irian Jaya.
Di samping berendam selama dua jam di sebuah kali kecil di Suryakencana, Jawa Barat (ini juga untuk melatih fisik agar tahan terhadap udara dingin), Clara melakukan latihan mendaki dengan kemiringan 900. Di Citatah, Jawa Barat, misalnya, dengan tali, ia naik-turun Gedung Pemadam Kebakaran yang tingginya sekitar 30 meter. Latihan yang biasa disebut rapling atau turun monyet itu juga dilakukan di celah-celah Tebing Singgalang, Padalarang. “Latihan ini yang paling menyeramkan,” kata Clara, yang juga berlatih memanjat tebing dengan jari-jemarinya.
Kenyang menjalani semua latihan berat tadi, barulah Clara bersama Gibang Basuki mengurus izin mendaki. Mengingat misi pendakian solo (tunggal) ini lewat jalur utara, maka surat izinnya dikeluarkan oleh Pemerintah Cina, di Beijing. Dan berkat bantuan seorang warga Australia, mereka berhasil mendapatkan izin dari China Mountain Association (CMA).

Clara di Base Camp Jalur Utara Tibet, 1996.

Langkah Sudah Dilangkahkan
Lalu dengan biaya sebesar US$ 12.000, mereka mengontrak 12 penduduk Tibet, yang akan membawa beban dan tukang masak. Mereka biasa disebut sherpa, berasal dari nama suku Sherpa di Tibet, yang sering naik- turun gunung. Di samping itu, Clara dan Gibang harus menyewa pula seorang petugas Cina dari China Tibet Mountaineering Association (CTMA), yang berperan sebagai penerjemah sekaligus, “Untuk mempermudah prosedur di perbatasan Cina-Tibet,” kata Clara.
Setelah urusan perizinan beres, mereka kembali ke Jakarta melakukan latihan terakhir. Pas 8 Juli 1996, Clara dan Gibang Basuki memulai perjalanan bersejarah itu. Mereka menumpang Kuwait Airlines menuju Frankfurt, Jerman, untuk membeli perlengkapan mendaki. “Masuk di toko perlengkapan pendaki seperti masuk surga,” tutur Clara, yang menghabiskan dana sampai US$ 50.000. Termasuk di antaranya 12 tabung oksigen dan sepatu. Sepuluh hari kemudian mereka menuju Kathmandu.

Bersama pendaki lain di Base Camp.

Selanjutnya Ke Tibet
Di ibukota Nepal, Kathmandu, selain menjemput ke-12 pemanggul beban serta pemandu jalan, Clara dan Gibang melakukan latihan aklimatisasi. Yakni latihan menyesuaikan diri di tempat ketinggian. Mula-mula mereka diterbangkan pada ketinggian 3.000 meter dengan helikopter. Setelah itu, pelan-pelan mendaki sampai puncak Gunung Kalapatar, yang tingginya 5.545 meter. Kemudian turun kembali ke Kathmandu.
Clara di Base Camp III, Jalur Utara Tibet
Perjalanan darat menuju perbatasan tidaklah mudah. Terjadi longsor di jalan-jalan raya, sehingga rombongan Clara harus kembali ke Kathmandu dan istirahat seminggu. Sampai-sampai lima kali mereka harus mengganti kendaraan pengangkut. Baik di Kota Zhangmo maupun Nylam Tim, Nepal, mereka menginap di hotel milik Pemerintah Cina. Kondisi kamarnya kurang memadai. Listrik sering mati, dan airnya yang keruh cuma sesekali mengalir. “Kami makan malam di restoran Cina yang makanannya berminyak,” tutur Gibang Basuki.
Sementara menunggu waktu, mereka mengisi kegiatan dengan mengikuti ziarah ke kuil, adat penduduk Nepal dan Tibet yang diikuti pula para pendaki umumnya. “Di kuil itu banyak tanah liat dibakar, seperti di kasongan Yogya,” kata Clara. Setelah itu mereka pun mengawali petualangan, dan tiba di tempat yang biasa disebut Base Camp. Di tempat setinggi 5.154 meter yang dilengkapi dengan pos dan alat komunikasi ini, Clara melakukan latihan naik turun gunung selama empat hari sambil menunggu kedatangan petugas penerjemah Cina.
Dan sekitar pukul 09.00 waktu setempat, 26 Agustus 1996, Clara memulai langkah yang bersejarah dalam hidupnya. Diiringi 12 pembawa beban, Clara menuju tempat pemberhentian berikutnya. Lokasi ini lazim disebut Camp 1, ditentukan sesuai dengan kemampuan para pendaki mengayun langkah. Untuk Clara, Camp 1 mencapai setinggi 5.500 meter. Di sini rombongan Clara disambut hujan lebat, sehingga mereka harus beristirahat dalam tenda. Paginya, menuju ke Camp 2 pada ketinggian 6.000 meter.

Clara di Base Camp V, ketinggian 7.900 meter.

Uang Jasa Merintis Jalan
Setelah mereka beristirahat secukupnya, perjalanan dilanjutkan ke Camp 3, Advanced Camp. Di Camp 3 ini Clara harus melakukan latihan naik-turun gunung (aklimitasi) selama tiga pekan. Sebab di ketinggian 6.450 meter itu lapisan oksigen mulai berkurang sehingga banyak pendaki yang menderita hipoksia alias pusing karena kekurangan oksigen. Apalagi ia terserang batuk dan sakit tenggorokan karena tak tahan dengan suhu sedingin minus 350C, akibat badai salju. “Sampai-sampai susah bernapas,” tuturnya.
Clara sembuh setelah diberi minum strepsil dan sebutir tablet antibiotik oleh seorang dokter Yogoslavia dari sebuah rombongan Amerika Serikat yang tiba belakangan. Tim pendaki Amerika Serikat dimintai Gibang Basuki tanda jasa.”Berupa barang apa saja bolehlah,” kata Basuki. Sebab tim Amerika itu menggunakan rute – mulai Base Camp sampai Camp 3 – yang dibuat oleh para sherpa dari tim Indonesia.
Bukan karena komersial, melainkan sebagai balas jasa bagi para sherpa yang merintis jalur tersebut. Memang para sherpa inilah yang merintis jalan menuju kamp berikutnya, baru kemudian si pendaki mengikuti dari belakang. Salah seorang di antaranya bernama Ghalzhen yang terkenal lihai. Ia, bersama tiga rekannya, hampir tewas ditimpa longsoran salju (avalanche).
Tim Ceko yang beranggotakan 12 orang itu akhirnya memberi tali, tenda, bahan makanan, serta meminjamkan alat telekomunikasi berupa telepon satelit. Oleh Gibang Basuki, pemberian itu diserahkan kepada Ghalzhen dan 11 anggota pembawa barang lainnya. Sedangkan enam orang tim Afrika, yang juga menggunakan rute Indonesia, menyumbangkan tali dan uang kontan US$ 200. Lalu ada pula sebuah tim lain yang menolak dimintai sumbangan. Belakangan baru diketahui, ternyata mereka cuma mengantongi izin pendakian untuk seminggu. Artinya, ya mereka tidak bakal sampai ke pucuk Everest.
Didampingi empat sherpa (delapan lainnya sudah berangkat lebih dulu), tim Indonesia melanjutkan perjalanan ke Camp 4 yang tingginya 7.069 meter, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Camp 5, setinggi 7.900 meter. Saat hendak melanjutkan perjalanan ke Camp 6, Gibang Basuki kembali ke Camp 5. Hal ini memang lazim dilakukan sebuah tim pendakian solo (tunggal). Sebab, sebagai pendukung tim, Gibang harus berada di belakang. Bila kondisi memungkinkan, misalnya, persediaan oksigen dan cuaca cukup baik, barulah Gibang menyusul ke kamp berikutnya.
Di Camp 6 ini kemiringan mencapai 80 derajat, sehingga perlu istirahat sejenak meneguk air minum tiap berjalan setengah jam. Gunanya, untuk menghindari batuk dan radang tenggorokan. Di samping itu, di jalur ini banyak terdapat jebakan salju. “Saya sempat terperosok ke jurang,” tutur Clara. Dalam perjalanan dari Camp 5 menuju kamp berikut, kondisinya kurang mendukung. Empasan angin yang sangat kencang dan berkabut memaksa misi pendakian dihentikan beberapa kali. “Air sisa pernapasan di masker saya sampai membeku menjadi es,” Clara bercerita kepada Abdul Latief Siregar dari Gatra.

Salju Sebatas Paha
Alhamdulillah, Clara bersama lima sherpa berhasil mencapai Camp 6 pada pukul 16.00. Di lokasi yang tingginya 8.300 meter inilah Clara dan rombongan beristirahat. Tatkala istirahat itu, Clara yang masih dalam kondisi fit ditawari Kaji, pemimpin sherpa, untuk melanjutkan perjalanan. Menurut ramalan Kaji, cuaca di sekitar kamp cukup bagus. Ditawari begitu, Clara pun tergoda. Setelah dipikir masak- masak, maka diambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan pada pukul 01.00 dini hari, menuju pucuk Dewi Bumi. Waktu itu Clara sempat mengingatkan Kaji agar Gibang Basuki diberitahu rencana mendadak itu. Sekaligus mengajak Gibang agar ikut dalam ekspedisi yang bersejarah itu. Namun, Kaji melarang dengan alasan persediaan oksigen mereka tak akan cukup. Belakangan Gibang mengetahui alasan Kaji itu cuma dibuat-buat. Apa boleh buat, Gibang Basuki yang sebetulnya juga mampu meraih puncak Everest cuma berada di Camp 5.

Clara di Base Camp VI

Jam menunjukkan pukul 01.00, Clara bangun dari tidurnya. Lalu menyantap nasi kering yang tersimpan di rantangnya, dan menenggak segelas teh manis hangat. Setelah itu barulah Clara berangkat menembus kegelapan malam disertai lima sherpa. Ia menuju puncak. Cuaca cukup bersahabat. Tidak berkabut, meski dingin sangat mencucuk. Untuk menghindari frostbite (pembekuan jari-jari tangan dan kaki), Clara mengenakan pakaian rangkap. Mulai dari long zone (sejenis pakaian senam), kaus bertangan pendek dan bertangan panjang, sampai baju hangat, yang kemudian ditutup lagi dengan down jacket yang direkomendasikan untuk suhu minus 40 derajat.
Selain itu Clara Sumarwati juga mengenakan sarung tangan berlapis-lapis. Mulai dari yang tipis, lalu kaus tangan yang direkomendasikan untuk dipakai dalam suhu minus 300C, sampai sarung tangan tebal. Demikian juga kaus kakinya sampai dua rangkap. Bisa dibayangkan betapa berat beban pakaian yang dikenakan para pendaki pada tahun 1920. Tapi kini hal itu bisa dihindari, “Karena bahannya bagus, terasa ringan,” kata Clara.
Perjalanan menuju atap dunia pun dimulai. Itu dilakukan dengan cara travesing atau menyisir sambil mengitar. Para sherpa yang berpengalaman membuat hati Clara jadi tenang. Ghalzen yang membuat jalur, diikuti para sherpa lain seperti Dhawa, Ghalzen Kecil, dan Kaji, sang pimpinan, mengecek keselamatan jalur yang akan digunakan. Barulah Clara berjalan menyusul di belakang.

Clara - Selangkah Lagi Menuju Puncak Everest

Menjelang sampai ke pucuk bumi, Clara dihadang hamparan salju sebatas paha manusia. Pada ketinggian 8.550 meter, hadangan pun makin serius. Sebab, bentuknya lain lagi. Yakni o­nggokan salju raksasa setinggi 10 meter, yang bentuknya seperti pinggul sapi. Untuk melewati gundukan itu, para pendaki memerlukan tangga dan tali. Demikian juga Clara. Dengan tangga yang sudah agak retak setinggi 10 meter dan tali-temali, ia akhirnya melewati hadangan itu.
Menyanyikan Indonesia Raya
Sulit dibayangkan, saya akhirnya dapat melalui gundukan itu,” kata Clara dengan bangga. Maka, ketika jarum jam menunjukkan pukul 11.00 waktu setempat, Clara Sumarwati pun sampai di pucuk Everest. Setelah memandang ke sekeliling dan merasa yakin bahwa ia memang sedang tegak di atap dunia, Clara berkata dalam hati, “Tiba-tiba saya merasa sangat kecil dan rendah.”
Setelah selesai mengucapkan 50 kali doa Salam Maria sambil memegang rosarionya (seperti tasbih), pemeluk Katolik ini menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sambil memegang Sang Merah Putih. Lalu wanita kelahiran Yogyakarta ini berpose memegang majalah Time yang bergambar sampul Presiden Soeharto.
Sementara itu, Gibang Basuki menunggu kabar di Camp 4 dengan cemas. Begitu mendengar kabar keberhasilan Clara dari handy talky di genggamannya, ia terkejut bercampur gembira. “Saya sudah mau marah. Kok lama nggak turun-turun,” ujar sersan dua Koppasus ini. Lalu ia turun ke Camp 3, meminjam peralatan komunikasi tim Ceko, untuk mengabarkan keberhasilan ini ke Indonesia.
Keraguan atas keberhasilan Clara, yang sejak semula menggelayuti hampir seluruh pendaki Indonesia, pun hilang. Seorang putri Indonesia ternyata mampu meraih prestasi tertinggi dunia. Yakni menaklukkan pucuk Gunung Everest dalam waktu 53 hari. Sebuah perkumpulan pendaki gunung Nepal bernama Pasang Lhamu (diambil dari nama seorang pendaki wanita Nepal yang tewas di puncak Himalaya tahun 1993), telah mengatur pertemuan antara Clara dan Menteri Olahraga Nepal.
Sebuah konferensi pers menyambutnya di Kathmandu, sesaat setelah Clara menjejakkan kaki kembali di ibu kota Nepal itu. Sejumlah piagam dan kertas penghargaan diberikan kepadanya. Antara lain, diangkat menjadi anggota kehormatan oleh Nepal Mountaineering Association. Sedangkan China Mountaineering Association (CMA) dan China Tibet Mountaineering Association (CTMA) memberi selembar sertifikat, yang menandakan bahwa Clara Sumarwati adalah salah seorang pendaki yang berhasil mencapai puncak tertinggi di dunia.
Dan sekembalinya di Indonesia, Clara langsung menghadap Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia, Wismoyo Arismunandar. Pada tahun itu juga ia menerima penghargaan Bintang Nararya atas prestasi gemilang yang dicatatnya.

Rabu, 12 September 2012

MENEMBUS DEBU MERAPI


Sebuah Catatan Perjalanan Pendakian Merapi #13, 24-25 Agustus 2012
Sudah 5 bulan aku tak mengunjungi Merapi setelah pendakian bersama teman-teman eLKaPe bulan april lalu. Hari ini kembali ku injakkan kakiku di pasir merapi, bergelut dengan debu-debu etape ladang dan hutan, menepis kerasnya angin dingin malam musim kemarau, serta melawan dinginnya tidur tanpa tenda dome di atas ketinggian 2700 mdpl. Bersama 3 teman crew PMTG adventure kuhadapi semua itu, Kakex C-001-PMTG, Ian C-004-PMTG, dan Ardy C-043-PMTG. Dan aku sendiri Arie C-007-PMTG.
Jum’at, 24 Agustus 2012
Siang ini setelah menyelesaikan keperluan di kampus dan bertemu dengan teman-teman kuliah, aku memacu motor biruku melewati padatnya arus balik jalan Jogja-Magelang sambil menikmati view gunung Merapi dan Merbabu yang terlihat cerah semenjak pgi tadi. Benar-benar cerah, semoga cerahnya bertahan sampai besok, harapkuku dalam hati. Sesampainya di rumah (Muntilan), Kakex dan Ian sudah disana menunggu. Aku segera shalat Ashar lalu packing karena jam menunjukkan pukul 16.15, molor hampir 1 jam dari planning. Seperti biasa.
Aku hanya memakai daypack Tagolu-Merah ku karena barang yang kubawa tak banyak, hanya Sleeping Bag (SB), Nisting+kompor+gas, senter, dan bekal untuk makan malam di basecamp, sedikit cemilan THR (Turahan Hari Raya), dan pakaian yang menempel di badan. Simple. Setelah packing selesai, kami bertiga berangkat menjemput Ardy di rumahnya, Blabak, kemudian pukul 17.30 melanjutkan perjalanan menuju Basecamp Pendakian Merapi, mampir shalat Maghrib di masjid megah di daerah Tlatar Sawangan, lalu memacu motor lagi hingga Selo.
Akhirnya kami sampai di Basecamp Barameru setelah menembus dinginnya suhu yang menggigit sepanjang perjalanan. Ramai sekali, seperti penmas. Mungkin karena libur lebaran, banyak yang sudah puasa mendaki selama Ramadhan, atau memang memanfaatkan waktu libur/ cuti untuk mendaki gunung teraktif di dunia ini. Paling banyak adalah motor dengan plat AD, daerah Surakarta, ada juga rombongan pendaki Jakarta dan Wonosobo. Basecamp penuh, tapi kami tetap akan mendaki gunung ini.
Acara di basecamp adalah duduk-duduk, mengistirahatkan badan, makan malam, dan ngobrol-ngobrol dengan beberapa pendaki lain. Semula kami berencana untuk tidur di basecamp dan mulai mendaki pada pukul 2 pagi karena kami tidak membawa dome, namun kami memutuskan untuk mulai mendaki dan akan tidur di Goa setelah Watu Gajah, atau tempat manapun yang cukup “nyaman” untuk tidur. Benar-benar outdoor. Hehe..
Setelah registrasi dan berdoa, pukul 20.50 kami berempat memulai pendakian dari Basecamp Barameru Merapi. Angin dingin tetap berhembus, tanpa jaket awal pendakian terasa dingin. Setelah melewati NEW SELO, etape ladang menghadang. Jalur di etape ladang ini sangat berdebu. Parah. Maklum saja, bulan-bulan akhir musim kemarau, dimana persediaan air sangat tipis, sehingga hujan lokal ataupun embun tak pernah terjadi lagi.
Perjalanan melewati etape ladang terasa lebih berat dari biasanya, karena debu-debu yang menutupi jalur pendakian akan ‘meledak’ saat diinjak. Membuat pernapasan sedikit sesak dan mata sedikit perih terkena butiran-butiran debu yang beterbangan hingga tersorot headlamp-ku. Kakiku yang hanya memakai sandal gunung juga sudah tak berbentuk lagi. Berdebu. Begitu juga celana hitamku. Aku lupa bahwa ini musim kemarau. Tau begini aku tak akan memakai celana hitam.
Etape ladang akhirnya selesai yang ditandai oleh sebuah gapura baru bertuliskan “Selamat Datang Di Taman Nasional Gunung Merapi” yang berdiri di awal etape hutan, perbatasan antara ladang penduduk dengan taman nasional. Di Gapura/ shelter baru ini kami bertemu dengan beberapa rombongan pendaki lain yang beristirahat, salah satunya yaitu rombongan Garba Wira Buana, Mapala UNS yang tadi berangkat lebih dulu dari basecamp. Aku dan ketiga temanku hanya berhenti sebentar, lalu segera tancap gas melanjutkan pendakian menuju Pos I.
Etape hutan juga berdebu, dan jalur pendakian kian bulani kian parah saja. Prihatin, tapi apa yang bisa kita lakukan?? Beberapa menit kemudian kami sampai di percabangan. Ke kiri adalah jalur Kartini, jalannya terlihat landai, sedangkan ke kanan adalah jalur utama, jalan terlihat menanjak dari percabangan. Kami memilih kanan. Jalur setelah percabangan didominasi oleh tanjakan yang cukup licin karena lapisan debu. Napas terasa lebih sesak karena debu dan tipisnya oksigen malam hari di gunung. Kaki dan celana juga semakin parah oleh debu yang terinjak.
Tanjakan terakhir terlihat, berarti Pos I tinggal beberapa langkah lagi, dan benar saja, Aku dan Ian sampai di Tugu Triangulasi Pos I pada pukul 22.05. sangat cepat menurutku, biasanya 2 jam baru sampai Pos I. Kami segera duduk, melepas beban di pundak, Begitu juga Kakex dan Ardy setibanya di Pos I. Tubuh sudah mulai basah, membasahi kaos kebesaran kami. Meski suhu malam ini dingin, berjalan mendaki tetap membuat kami berkeringat. Tapi setidaknya Track Basecamp – Pos I sudah terlewati, karena inilah bagian terberat dalam pendakian Merapi. Menurutku.
Setelah cukup beristirahat (±30 menit), kami memakai lagi daypack dan carrier kami dan mulai melangkah meninggalkan pos I. Menaiki, melewati, dan menuruni celah antara 2 batu, lalu melewati jalan sempit. Hati-hati di sini, lihat kanan kiri. Track selanjutnya berupa jalan berbatu dan sedikit menanjak, tapi tak securam track sebelum pos I. Setelah berjalan sekitar seratus meter, ada percabangan yang akan ditemui. Ke kiri merupakan jalur utama dengan track berbatu dan menanjak cukup curam karena merupakan jalur di punggungan bukit, sedangkan ke kanan jalan sedikit menanjak, lalu menurun dengan track tanah, ini merupakan Jalur Lumut.Kami memilih ke kanan, ke Jalur Lumut.
Jalur Lumut lebih landai karena merupakan lembah antara punggungan jalur pendakian dan sebuah punggungan lainnya. Jalurnya sempit dengan sisi kanan lereng, dan beberapa kali jurang/ lubang dalam menganga di kanan jalur pendakian. Terakhir kali melewati jalur utama saat naik adalah pendakian 17 Agustus 2010 bersama Lilik C-022-PMTG dan Herry C-023-PMTG, setelah itu setiap naik merapi pasti melewati Jalur Lumut. Lebih asik.
Jalur Lumut juga berdebu, tapi juga tak separah etape ladang dan hutan. Dan setelah sekitar satu jam berjalan santai akhirnya kami sampai di pertemuan jalur. Kami beristirahat lagi, duduk menghindari angin yang bertiup kencang, dan dingin. Melihat jam ternyata baru pukul 23.30. Di jalur utama ini kami menemukan tempat yang tak terkena angin. “Nyaman untuk tidur” Pikirku. Tapi kami masih belum memutuskan akan tidur di mana, mengingat kami tidak membawa dome. Pasti akan dingin tidur malam ini. Entah kedinginan di Pasar Bubrah, Goa, atau ceruk di jalur pendakian, atau entah di mana. Dan pada akhirnya, kami berjalan melewati Watu Gajah, dan berhenti di Goa. Tepat jam 24.00. Kami segera bongkar daypack dan carrier, dan segera membungkus tubuh kami dengan SB. Selamat tidur...

Sabtu, 25 Agustus 2012
Sunrise!! Sunrise!!
Suara Kakex dan Ardy yang sudah bangun lebih dulu memaksaku bangun. Aku melihat jam HP-ku, ternyata sudah pukul 05.00, dan ufuk timur sudah mulai menggaris sinar jingga. Malam ini tak senyenyak saat dulu mendaki berdua dengan Kakex 2-3 September tahun lalu, kali ini aku sering terbangun karena angin dingin yang membelai kepala dan leherku yang tak terbungkus SB. Aku segera shalat Subuh, lalu mengabadikan goresan sunrise yang selalu memikatku hingga kini.






 Setelah packing SB, kami mulai pendakian ke puncak baru Merapi. Kami mulai mendaki karang-karang di sisi kanan di atas Goa, kemudian menyusuri punggungan terbuka menuju Memoriam. Sejenak berhenti di Memoriam sambil menikmati pemandangan dari tempat yang sudah 13 kali kukunjungi ini. Banyak pendaki yang sudah sampai puncak, terlihat titik-titik hitam yang bergerak di bibir kawah Merapi. Beberapa dome terlihat berdiri di Camping site Pasar Bubrah yang masih gersang. Beberapa pendaki terlihat mulai summit attack, kami juga.



 
Berangkat pukul 06.00 dari Memoriam, kami menuruni jalan, membelah Pasar Bubrah, berpijak pada batu-batu dan kerikil, kemudian sampai di track pasir lereng puncak yang menanjak dan cukup curam. Kami menyeberangi lereng pasir ke arah kiri, kemudian mendaki kerikil-kerikil yang cukup bisa membuat kita tergelincir jika tak hati-hati. Lalu menyeberangi pasir lagi menuju tebing karang batuan muda di sisi kiri. Di tebing ini pendakian lebih mudah dan aman karena pijakan lebih stabil dan tidak licin. Setelah tebing karang, kami melewati lereng berpasir dan kerikil ke arah tengah. Jalur mendekati puncak tetap curam dan terjal, namun asalkan kita hati-hati dan tidak semberono, pendakian puncak akan tetap aman.

Alhamdulillah, setelah berjuang melawan rasa lelah di kaki, melewati pasir, kerikil, batu, hingga tebing karang akhirnya kembali kuinjakkan kakiku di dataran puncak baru Merapi pada pukul 06.55 waktu setempat. Kali kesembilan kugapai puncak Merapi, dan masih selalu takjub dengan cakrawala. Aku memilih ke bibir kawah sebelah kiri, ke arah celah erupsi 2010 lalu. Sebenarnya titik tertinggi gunung Merapi berada di sisi kanan, tapi akau tak mau mengambil resiko karena batuan puncak masih belum stabil, dan kulihat bagian yang kemarin gugur dan menyebabkan hujan abu adalah dataran puncak tertinggi di sisi kanan. Aku masih ingin mendaki gunung, dan aku masih ingin ke Mahameru.


 Acara puncak kuisi dengan berfoto-foto dengan view yang cerah berawan. Memang tak sebersih kemarin, tapi tetap keren. Banyak juga pendaki yang juga baru sampai di puncak, yang tadi terlihat dari memoriam sudah turun lebih dulu. Puncak memang tidak cukup untuk menampung banyak (sekali) orang. Karena puncak hanya berupa bibir kawah yang cukup tipis dan sempit, tak seperti dataran puncak sebelum Erupsi 2010, luas. Jadi dari puncak bisa terlihat kawah beserta tebing dinding kawah yang masih mengepulkan asap belerang. Mendaki gunung berapi dan bisa melihat kawahnya secara langsung adalah sesuatu yang cukup menarik.













Setelah cukup lama bersantai-santai di puncak, kami memutuskan untuk turun pada pukul 07.50. Perjalanan turun lebih cepat tapi lebih mengerikan, karena melihat track yang curam dan licin. Kami turun melalui sisi kiri (barat), yang langsung mencapai ujung lereng pasir. Di lereng pasir, perjalanan turun menjadi lebih enak dan sangat cepat, karena kita tak takut sakit jika terjatuh, dan kami bisa berlari menuruninya. Setengah jam kemudian kami sampai di dataran Pasar Bubrah, dan lima menit kemudian (08.25) sampai di Memoriam.
 






 Sebentar berhenti di Memoriam, mengambil beberapa foto lagi dari Memoriam di siang hari, kemudian menuruni punggungan terbuka, menuruni tebing karang, melewati Goa, Watu Gajah, tebing-tebing batu, dan akhirnya sampai di pertemuan jalur lumut dengan jalur utama. Kami kembali memilih jalur lumut untuk turun, lebih nyaman dan teduh. Terakhir kali aku melewati jalur utama untuk turun adalah saat mendaki bersama Sidiq C-006-PMTG, Lilik C-022-PMTG, dan Saladin C-032-PMTG karena kondisi sedang hujan dan akan licin jika turun melalui jalur lumut.

 Dengan sedikit berlari aku dan Kakex memimpin di depan melewati jalan setapak di antara semak-semak. Cuaca masih cerah saat turun, hanya tambah berawan. Akhirnya sampai juga di pertemuan jalur, dan pukul 09.30 kami sampai di Pos I. Kami memilih beristirahat di camping site Pos I yang bisa didirikan ! dome besar. Kami segera bongkar muat, memasak mie+ayam (= mie ayam) untuk sarapan kami pagi ini, serta se-nisting cappucino untuk menyegarkan kerongkongan. Sembari ngobrol-ngobrol dan menghisap (bagi ahli hisap), kunikmati view Sumbing, Sindoro, Dieng, Prahu, serta Slamet di sisi barat sana.


Setelah menyantap habis sarapan kami, pukul 10.40 kami packing dan melanjutkan perjalan turun kami untuk bisa segera sampai di Basecamp lagi. Dan kembali bergelut menembus debu yang akan lebih parah berterbangan karena terseok sepatu dan sandal yang merosot ataupun berlari. Aku membiarkan mereka turun lebih dulu, sambil menunggu beberapa saat hingga debu terbawa angin lalu baru menuruni turunan curam berdebu di etape hutan. Hingga “Pohon Tumbang” (tempat yang biasa kami tempati untuk istirahat kedua saat mendaki merapi), aku selalu memberi jarak turun. Dari “Pohon Tumbang” aku mengambil jalur kanan, sementara mereka bertiga melalui jalur utama. Jalur kanan merupakan jalur memutar melewati punggungan kanan jalur, dulu biasanya dipakai oleh penduduk. Aku memilih jalur ini karena pasti akan sedikit lebih tidak berdebu dibandingkan jalur utama.
Jalur yang kupilih masih terlihat jelas meski banyak tertutupi semak dan ranting-ranting. Meskipun tak hafal, aku tetap yakin dan hanya mengikuti jalan setapak sambil melihat punggungan kiri sebagai patokan. Dan setelah beberapa saat agak berlari mengikuti jalur, terlihatlah jalan setapak yang menghubungkan punggungan ini dengan punggungan jalur utama. Akhir dari jalur ini adalah batas Taman Nasional, Gapura Selamat Datang.
Dari batas Taman Nasional ini kami mengambil jalur alternatif lain di punggungan sebelah kiri, karena kami tak ingin bergelut dengan debu “berlebih” di etape ladang yang pasti juga sangat licin. Jalur alternatif ini juga merupakan jalur penduduk untuk naik – turun mencari rumput. Tak lama kemudian terlihatlah baliho NEW SELO di sisi depan kanan kami. Kami kemudian mengikuti jalur menurun melewati sungai kering dan naik menuju punggungan utama. Hari ini hari minggu, seperti biasa, banyak yang “ke sawah” dengan pakaian yang “necis” alias keren. Merekalah pasangan muda-mudi yang entah berasal dari mana, dan kesini untuk pacaran di ladang. Gak Elite beroo!!
Track etape ladang masih tersisa sedikit, aku melewatinya dengan berlari agar cepat bisa santai-santai di New Selo. Begitu sampai di New selo (11.30), kami memesan es teh di salah satu warung. Segerr.. Banyak juga pengunjung New Selo hari ini, ada rombongan keluarga, tapi kebanyakan memang mereka yang ingin berduaan di keramaian (soalnya yang pacaran banyak). Beberapa pasangan terlihat baru sampai, dan terus berdatangan selama kami dudu-duduk di joglo.
Cukup lama kami bersantai di sini, mengistirahatkan kaki yang lelah, sambil ngobrol-ngobrol dengan pendaki lain, serta salah satu pengunjung. Hingga kemudian kami turun menuju basecamp pada pukul 12.00. Track aspal masih tersisa kawan. Sepuluh menit kemudian kami sampai di Basecamp Barameru, kemudian beristirahat lagi di sini, membersihkan tangan dan kaki yang sudah seperti Telo (ketela) karena debu. Celana dan daypack juga berdebu, ramputpun tak luput. Persediaan air di daerah ini sedang limited, sehingga kami tidak bersih-bersi dengan bersih, biarlah terlihat kalau kami baru saja turun gunung. Hehe.. 


Pukul 12.45 kami meninggalkan basecamp, menjauhi Merapi yang terlihat berkilau seperti perak (Silver). Sampai bertemu lagi Debu Merapi, kerikil, batu, tebing, angin, Jalur Lumut, Watu Gajah, Goa, Memoriam, Pasar Bubrah, puncak, kawah, dan asap Sulfatara..

“Karena gununglah orang-orang seperti kita ada,
dan karena orang-orang seperti kitalah gunung memiliki makna.” - Ari Fendianto -


PENDAKI         :
Taufiq Bayu Pamungkas, A.Md. a.k.a Kakex C-001-PMTG
Septian Baskoro Adi, S.Kom. a.k.a Ian C-004-PMTG
Ari Fendianto a.k.a Arie C-007-PMTG 
Ardy Wicaksono a.k.a Ardy C-043-PMTG