Kamis, 29 Desember 2011

Pendakian Lawu via Candi Cetho 2011


23 Desember 2011
Molor 1 jam dari jadwal semula, kami bertiga (Arie C-007-PMTG, Rohman C-016-PMTG, Andank C-040-PMTG) berangkat dari kampus UIN Jogja dengan 2 motor. Kami langsung di sambut jalan macet di depan Amplaz, Nggremet!! Sepertinya akan melelahkan. Di luar rencana juga, ada teman Andank yang ‘ngeyel’ ingin ikut kami mendaki Lawu kali ini. Jadilah kontingen Jogja menjadi 4 orang. Rico, DTE’10, telah menunggu di Klaten dengan daypack eiger-nya. Sepertinya kurang persiapan. Di Klaten, kami berhenti untuk shalat Maghrib, baru setelah itu melanjutkan perjalanan menuju Sekre Brahmahardhika di UNS.
Sekitar pukul 7 malam kami sampai di gerbang depan kampus pusat UNS, kemudian Cebret (C-033-PMTG) menjemput kami dan membawa kami sampai Sekre yang berada di Gedung UKM FKIP UNS. Kampus UNS terlihat nyaman dengan rindangnya pepohonan di sekitar gedung-gedung kuliah. Tata ruangnya juga rapi. Keren pokok’e!!
Di sekre ada beberapa orang anggota Brahma, namun hanya 3 di antara mereka yang akan ikut mendaki, Riwut, Yunus, dan Ririt a.k.a Cebret a.k.a Bocor. Kemudian bertambah Bitha (teman Ririt, bukan anggota Brahma, Mahasiswa POK), tapi kami masih harus menunggu 2 teman Riwut (bukan anggota Brahma, Mahasiswa Pendidikan Geografi) yang tak kunjung datang. nganti ngantuk!!
Saat ngobrol-ngobrol dengan teman-teman, maz Nasir (BIOLASKA) telpon dan berpesan untuk hati-hati saat mendaki, karena malam sebelumnya (Kamis malam, 22/12) ada yang meninggal di Puncak Lawu karena Hypothermia. Aku bertanya pada teman-teman Brahma, dan memang benar, ada yang meninggal di Lawu, Mahasiswa UNS, saat Diksar Mapala Universitas. Saat itu juga perasaanku menjadi tidak enak, tapi aku terus berkata pada diriku sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Ku putuskan untuk tetap mendaki esok hari.
Sekitar pukul 9.30 mereka datang, dan kami segera menyiapkan barang-barang kami. Setelah berdo’a kami langsung berangkat menuju Candi Cetho dengan formasi ; Riwut - Ririt, Rohman - Bitha,  Rico – Yunus, Andang – Arie, dan Wesa – Z. Dari jalan Tawangmangu, kami berbelok memasuki Gapura Wisata Candi Cetho. Jalan mulai naik turun dan berkelok-kelok khas kaki gunung. Tanjakannya pun kadang terlalu curam, sehingga kami (yang pada mbonceng) harus turun dan berjalan karena motor tak kuat mengangkut 2 orang. Kami juga melewati kebun teh, namun sayang karena gelap kami tak bisa menikmati keindahannya. Tapi kami mendapatkan pemandangan yang jauh-jauh lebih indah, yaitu kerlip lampu kota di sekitar kaki gunung Lawu. Amazing!!
Setelah sekitar 2 jam perjalanan, kami sampai di rumah teman sekelas Riwut, Dakor, hanya berjarak 1 rumah dari Candi Cetho. Dari jalan aspal depan rumahnya, pemandangan lampu kota terhampar luas. Klaten, Solo, Karanganyar, dan sekitarnya. Jauh melebihi Bukit Bintang. Jauh sekali.
Malam ini kami akan tidur di homestay Dakor ini, baru esok pagi kami mulai mendaki gunung Lawu ini. Setelah memasukkan barang-barang, kami makan makanan yang telah disiapkan Dakor dari maghrib tadi sambil merencanakan logistic yang akan kami bawa ataupun yang akan kami tinggal. Setelah itu kami bergegas tidur karena rencananya kami akan start maksimal jam 7 pagi.

24 Desember 2011
            Setelah shalat Subuh, aku keluar menikmati view Merapi Merbabu yang berdiri lurus dengan jalan depan Homestay. Cuaca pagi ini cukup cerah meskipun banyak awan berceceran di langit. Maklum, musim hujan. Di sini, sinyal kadang sulit ditemukan. Hanya ada beberapa titik yang ku temui selalu ada sinyal. Jadi harus pinter-pinter nyati spot. Hehehe..
            Setelah bersih-bersih body, sarapan, dan packing, kami berdoa dan mulai pendakian pada pukul 8.15. Molor 1 jam 15 menit. Formasi pendaki bertambah menjadi kesebelasan, Dakor juga ikut bersama kami. Ririt berada di paling depan karena dia yang hafal dengan jalur ini, sedangkan Dakor berada di paling belakang sebagai sweeper.
            Pendakian dimulai dengan berjalan di jalan berundak di sisi kiri Candi cetho, kemudian jalan menurun memotong sungai kecil, lalu mendaki lagi menuju Candi Kethek yang berada sekitar 300 meter dari Candi Cetho. Di Candi Kethek kami bertemu 2 pendaki menggendong carrier dengan bagcover eiger warna orange. Sepertinya mereka sudah expert, pikirku. Selepas Candi Kethek jalur masih landai melewati ladang penduduk. Jalur perlahan menanjak, semakin lama tanjakannya semakin tinggi dan curam. Ditambah lagi dengan beban full carrier (beberapoa full daypack) di punggu plus sinar matahari yang mulai meninggi membuat tubuh kami basah oleh keringat. Setelah berjalan 45 menit, sekitar pukul 9 kami sampai di Pos I. Pos I berupa Tempat berteduh berbentuk tenda Pramuka yang terbuat dari gedheg (dinding yang terbuat dari anyaman bambu) yang berada di sisi kiri jalur pendakian. Di sini kami beristirahat sekitar 15 menit untuk mengembalikan energy kami.
            Selepas dari Pos I, jalur kembali menanjak, jarang ada bonus. Jalurnya mirip jalur Slamet via Guci; setapak, vegetasi bawahnya rusek, meskipun kanopi dan hutannya tak selebat Slamet. Jalur tanahnya basah, sedikit licin, sepertinya semalam hujan. Kami berkali-kali berhenti untuk menghela nafas, minum, dan melemaskan kaki-kaki kami menghadapi tanjakan-tanjakan ini. Pukul 9.54 kami sampai di Pos II. Pos II berbentuk seperti Pos I, namun Pos II berada di kanan jalur pendakian dan berukuran sedikit lebih kecil di bandingkan Pos I.
            Jalur dari Pos II ke Pos III masih sama, sempit dan nanjak abizz!! Namun untungnya cuaca sedikit bersahabat, berkabut, sehingga tidak terlalu menguras tenaga kami. Tapi negatifnya, kami tidak bisa menikmati keindahan pemandangan di kanan, kiri dan belakang kami. Di jalur ini, aku tersengat Lebah Madu (Apis indica) di Belakang mata kaki kananku. Lumayan cenut-cenut, dan terus terasa gatal. Minyak kayu putihpun hanya bertahan 30 menit. Setelah itu terasa lagi cenut-cenutnya. But it’s okay. Akhirnya pukul 11.19 sampai Pos III. Pos III berupa Pondokan pendek tanpa dinding yang cukup menampung 8 orang duduk di dalamnya. Di samping kanannya ada lahan yang cukup untuk mendirikan 1 dome. Kami beristirahat cukup lama sambil nge-mil roti dan cemilan untuk sedikit mengisi perut kami karena kami berencana masak dan makan siang di Pos IV nanti.
            Track selanjutnya masih sama, Tanjakan Tanpa Ampun! Jalurnya terus menanjak, dengan sangat sedikit bonus. Untung saja Putri (C-042-PMTG) dan Fatika (BIO-EDC) tidak jadi ikut. Kalu mereka ikut, entah apa yang akan terjadi. Hehehe.. Kabut semakin tebal saja, bahkan sampai menurunkan gerimis-gerimis kecil. Kami masih terus mendaki, mengangkat kaki lebih tinggi, menapaki tanah basah agar secepatnya mencapai Pos IV. Gerimis sedikit lebih deras,m tapi aku masih belum peduli, masih terus berjalan, dan tetap sering berhenti. Bahkan saat gerimis berubah menjadi hujan pun aku enggan memakai mantol, karena ku piker hujan ini tidak akan lama karena hanya hujan dari kabut. Tapi ternyata hujan menjadi-jadi. Lebih deras. Tapi aku terus berjalan karena tidak ada tempat berteduh untuk memakai mantol, kata Ririt Pos IV juga sudah dekat. Aku semakin yakin jika Pos IV sudah dekat saat melihat Plakat warna silver yang menempel di Salah satu batang pohon. Ukurannya terlalu besar untuk sebuah petunjuk jalan. Aku memacu kakiku meski sudah sangat ingin berhenti, sementara hujan juga masih mengguyur tubuh beserta carrierku. Tapi aku sudah mengantisipasi dengan melapisi dalam carrier-ku dengan trashbag, sehingga meskipun kehujanan barang-barangku tetap aman.
            Akhirnya aku sampai di plakat yang memang bertuliskan Pos IV, di samping kiri bawah plakat tersebut terdapat gubuk kecil tanpa dinding yang lebih “sederhana” dibandingkan Pos III tadi. Di bawah atapnya terlihat 2 pendaki Eiger orange tadi yang sedang berteduh dari hujan deras ini. Akupun ikut berteduh bersama mereka, meskipun tempat ini sempit, dan banyak bocor di sana sini, tapi paling tidak bisa melindungi dari air hujan. Memang relatif sempit, paling banter hanya bisa menampung 6 orang duduk. Sementara rombonganku bersebelas. Tapi belum ada satupun dari mereka yang terlihat, aku memang berjalan lebih dulu tadi. Sambil menunggu, aku ngobrol-ngobrol dengan 2 pendaki di sampingku sambil membuka carrier dan mengeluarkan “mantol egois”ku, kemudian aku memakainya.
            Tak lama kemudian Ririt muncul dengan Mantol Kuningnya, egois juga, disusul Bitha, egois juga, dan yang lainnya memakai mantol Batman mereka. Kami kemudian memperlebar atap Shelter dengan menggunakan seng yang lepas ditambah mantol batman yang diikat dengan tali, meskipun hujan mulai mereda. Karena di sini kami akan istirahat cukup lama untuk masak, makan, dan shalat. Menu makan siang hari ini adalah Nasi, Mie instan + Sawi, serta telur dadar. Lumayan untuk mengisi tenaga kami karena tanjakan Tanpa Ampun belum berakhir. Kata Ririt jalan akan masih menanjak sampai Sabana 1 di atas Pos V. Matahari sesekali terlihat saat kabut terbuka, namun segera tertutup lagi. Setelah makan, kami shalat Dzuhur + Ashar di Pos IV ini. Setelah semua siap, sekitar pukul 3 sore kami melanjutkan perjalanan yang masih lumayan jauh untuk mencapai Hargo Dalem.
            Kami mulai menapaki satu persatu pijakan kaki di tanah yang licin masih di Tanjakan Tanpa Ampun. Kami harus bergegas karena akan ‘repot’ jika sampai di Pasar Dieng a.k.a Pasar Setan saat hari sudah gelap, karena jalur sulit terlihat. Aku masih memakai mantolku meskipun hujan sudah reda, untuk jaga-jaga karena cuaca di sini benar-benar tak bisa diprediksi. Sekitar bpukul 4 kami sampai di Pos V. Di sini memang tidak tulisan Pos V karena mungkin dilepas oleh pendaki tak bertanggung jawab. Tanda bahwa kita sudah sampai Pos V adalah 2 cemara kembar yang hampir sama besar yang membentuk seperti gapura. Seperti di pos-pos sebelumnya, kami beristirahat di sini. Tapi tak lama kemudian hujan kembali mengguyur, cukup deras. Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan lagi. “Sama-sama kehujanan mending kita berjalan saja.” Kata Ririt.

            Track dari Pos V diawali dengan turunan dan jalan landai, tapi bonus itu tak bertahan lama karena Tanjakan Tanpa Ampun masih harus kami lewati sampai mencapai Sabana I. Hujan masih terus menetes, meski kadang hanya rintik-rintik. Tangan sudah mulai membeku karena terus terbasahi air hujan. Jalur Pos V – Sabana I cukup rapat karena jalur ini memang belum sepopuler Cemoro Sewu atau Cemoro Kandang, jarang dilalui. Di tanjakan terakhir sebelum Sabana I, jalur tak begitu terlihat jelas. Jika belum hafal jalur, disarankan untuk melihat dengan seksama sisa-sisa jejak pendaki sebelumnya.

Bersambung...

Senin, 21 November 2011

QUOTES of 5 CM.

"Walaupun manusia tidak akan pernah bisa memutar kembali waktu untuk mengulang kembali semuanya dari awal, Tuhan telah memberikan kebebasan bahwa setiap manusia bisa memulai kembali semuanya dari sekarang. Untuk membuat akhir yang baru. Akhir yang lebih indah"  

‘sebuah negara tidak akan pernah kekurangan seorang pemimpin apabila anak mudanya sering bertualang di hutan , gunung dan lautan’ 
‘sebaik-baiknya manusia adalah manusia yg bisa bermanfaat bagi orang lain’

Kamis, 17 November 2011

ONE NIGHT TRIP MERAPI, 16.11.2011

Untuk kesebelaskalinya, hari ini aku menginjakkan kakiku di Gunung Merapi. Kali ini aku menelusuri jalan setapak Merapi bersama Rizky, Putri, dan Riyanti. Ketiganya adalah teman kuliahku, seangkatan denganku, sekelas denganku. Begini Ceritanya...

15 November 2011
          Berawal dari ide spontanku untuk mendaki merapi saat kami duduk-duduk di lantai 1 Lab terpadu, akhirnya kami putuskan untuk berangkat sore harinya.
         Sekitar pukul 5 sore Kami berempat berkumpul di rumahku, Muntilan, untuk re-packing barang-barang dan logistik yang akan kami bawa, lalu shalat maghrib, baru setelah itu kami berangkat menuju Basecamp BaraMeru Merapi di Selo, Boyolali.
          Jalur Ketep di malam hari ternyata lebih extreme, ditambah lagi dengan kabut tebal yang membuat jarak pandang kami berkurang, lampu motor juga tak bisa berbuat banyak. Tapi suhu udara tak terlalu dingin, dibandingkan 17 Agustus tahun lalu saat aku berangkat ke Merapi bersama Lilik (C-022-PMTG) dan Herry (C-023-PMTG).
          Sekitar pukul 8 malam akhirnya kami sampai di Basecamp BaraMeru Merapi. Basecamp terlihat sepi, bahkan pintu basecamp tertutup. Ternyata kami tim pendaki satu-satunya malam ini. Keren!! Kami segera bongkar tas kami dan segera memasak nasi, mie, dan kopi untuk makan malam kami. Kami berencana mulai mendaki pada pukul 2 malam, jadi malam ini kami tidur di basecamp. Karena keasyikan ngobrol, kami baru tidur pada pukul 10 malam setelah shalat isya' tentunya. Untung malam ini tak terlalu dingin, karena kami hanya membawa 1 SB, itupun dipakai oleh Putri dan Riyanti. Aku dan Rizki hanya memakai sarung untuk menghangatkan tubuh kami. Tapi kami tetap bisa tidur dengan nyenyak sampai jam 1 Pagi. Zzzz Zzzz...





16 November 2011
          Aku terbangun karena alarm Putri yang berdering lebih dulu, tapi aku tidur lagi. Baru setelah alarmku berbunyi keras, aku bangun dan membangunkan teman-temanku. Kami segera re-packing barang-barang serta logistik yang akan kami bawa ke atas. barang-barang yang tak perlu kami tinggal di basecamp.
          Tepat pukul 1.55 dini hari kami mulai pendakian ini setelah sebelumnya berdo'a bersama untuk keselamatan kami dalam pendakian ini. Ini pertama kalinya bagiku mulai mendaki dini hari, pertama kalinya juga bagi ketiga temanku. Kami mulai menapaki aspal yang menanjak dari basecamp sampai NEW SELO. Kami berhenti sejenak, lalu melanjutkan perjalanan menapaki jalan setapak yang lebar di samping ladang, di tepi jurang.
          Jalur di etape ladang sudah sedikit berbeda, sudah tak berdebu seperti pendakian terakhirku 8-9 September lalu, tapi tetap saja menguras tenaga. Putri dan Riyanti yang baru pertama kali ini mendaki beberapa kali berhenti untuk istirahat. Wajar, untuk PEMULA. :D Tapi Basecamp - Pos I adalah track terberat di Merapi, terutama Etape ladang.
          Kami sampai di Pos I pada pukul 4.10 pagi, kami berhenti untuk istirahat sekaligus shalat Subuh dengan beralaskan Ponco. Matahari sudah mulai menorehkan sinar jingga di langit timur, membuat semangat kami kembali terisi. 15 menit kemudian kami melanjutkan lanngkah kami menembus gelapnya pagi ini. Menyusuri Jalan setapak, melewati celah-celah batu. Namun etape ini lebih mudah dan ringan dibandingkan etape ladang yang nanjak terus (hampir) tanpa bonus!! Terdapat 2 Track dari pos I ke Pos II, yaitu jalur utama dan jalur Lumut. Jalur utama merupakan jalan yang melewati punggungan bukit, penuh batu, dan menanjak. Sedangkan jalur Lumut berupa jalan yang melewati lembah di samping kanan bukit jalur utama. Jalan di jalur Lumut lumayan landai, sehingga kami bisa santai dalam berjalan, serta tak menguras tenaga. Tapi tetap saja, bagi Putri dan Riyanti ini masih cukup sulit.
Ryanti : Shalat Subuh di Pos I
Breaking Dawn
Sunrise yang Kepagian

           Selama melewati Jalur ini, kami menemukan beberapa spesies yang belum pernah kami temui, dan kamipun hanya bisa mengambil gambarnya untuk identifikasi lebih lanjut. (Biolaska banget!!) hehe... Dari jalur lumut, puncak Merapi terlihat dengan jelas karena sunrise sepertinya telah lewat.tapi kami tetap semangat untuk menggapai puncak Merapi yang cerah. Setelah melewati ladang edlweiss yang mulai tumbuh lagi, kamipun disuguhi tanjakan terakhir yang penuh lumut. inilah mengapa jalur ini disebut jalur lumut. Di ujung tanjakan ini adalah titik temu antara jalur Lumut dengan jalur utama setelah Pos II. Jadi kami tidak melewati Pos II, kami hanya melihat tugu Pos II dari titik ini.













          Kami sampai di titik pertemuan sekitar pukul 5.30 pagi, tapi matahari sudah begitu tinggi untuk ukuran jam segini. Sepertinya Matahari datang terlalu pagi untuk menemui Bulan yang masih menunggu di langit biru. Gagal lihat sunrise lagi seperti di Sikunir. Tapi tak mengapa, karena view Merbabu pagi ini cukup indah, awan-awan pun berjajar seperti lautan di bawah kami. Kita di atas awan, kawan!!








           Karena cukup lama kami berhenti di titik ini, kamipun bergegas melanjutkan sisa perjalanan karena waktu sudah semakin siang.Track selanjutnya yaitu melewati jalan lebar dan sesekali melewati batu-batu cadas yang cukup terjal. Setelah melewati Watu Gajah, kami mendaki tebing untuk mencapai punggungan sebelum Memoriam Monuments. Jalan dari tebing sampai Memoriam berupa jalan lebar yang sedikit menanjak dengan jurang menganga di kanan kiri jalan.


Mengejar S3
          Pukul 6.45 kami sampai di Memoriam Monuments. Ada yang baru di sisni, Memoriam lama yang telah hancur diganti dengan Memoriam baru yang diperbarui tanggal 18 september 2011. Disini kami memutuskan untuk berhenti lagi dan memasak untuk sarapan kami karena kami sudah mulai lesu. Disela-sela acara masak, camdig Ryanti tak disia-siakan. Langit yang cukup cerah di bulan November menjadi kenangan tersendiri bagi mereka (Putri dan Ryanti) yang baru pertama kali ini mendaki gunung tinggi. Merbabu berdiri dengan gagahnya di seberang sana. Sumbing dan Sindoro pun terlihat, meski sedikit tertutup awan, begitu juga Rumah Rizki yang tertutup awan di kaki gunung Lawu. (Walaupun gak ketutup awan tetep aja gak kelihatan. :) )





Masak-masak at Memoriam Baru
Breakfast at Memoriam
A photo by Rizki Agung Sambodo
          Setelah acara masak-masak, sarapan dan photo-photo di Memoriam, kami kemudian mulai mendaki puncak Merapi. Tapi karena Ryanti sedikit 'aras-arasen', akhirnya dia tidak ikut mendaki puncak Merapi, Rizki pun akhirnya berkkorban untuk tidak mendaki sampai puncak juga untuk menemani Ryanti. (gak mungkin dong cewe ditinggal sendiri di Memoriam Merapi. ) Alhasil, hanya aku dan Putri yang kemudian meneruskan sisa pendakian ini.
          Tepat pukul 7.45 kami mulai summit attack ini dengan berbekal air 1,5 liter dan sedikit cemilan. Kami mulai menuruni terjalnya batu-batu di Pasar Bubrah, lalu berjalan menyebrangi Camping site Merapi ini hingga kaki Puncak. Akhirnya, di depan kami berdiri Kerucut Puncak Merapi yang cukup tinggi kalau di lihat. Akupun menggunakan strategi summit attack  Pendakian Merapi 8-9 September lalu, yaitu menyebrangi Tanjakan Pasir, kemudian mendaki tebing-tebing di sisi kiri. Strategi ini lebih efektif dibandingkan mendaki Tanjakan Pasir yang jelas melelahkan.

Tanjakan Pasir
          Track setelah Tanjakan Pasir telah berubah. Terlihat jelas bekas aliran air yang membawa pasir-pasir dari puncak. Sepertinya Hujan di Puncak Merapi cukup lebat beberapa hari kemarin. Aku sebenarnya sudah sedikit lupa dengan jalur yang dulu kulewati untuk samapi ke Puncak, tapi aku hanya mengikuti naluriku, yang penting selalu melihat ke arah Puncak Kura-kura agar jalurku tidak melenceng dari tujuan. 
          Meskipun sering berhenti dan sangat sering minum, tapi menurutku Putri cukup kuat untuk mendaki gunung. (Rasah Ge-eR Put!! :D Ryanti rasah Tersungging.. hahaha). Aku terus memberikan semangat pada Putri, karena Puncak memang sudah dekat (dibandingkan dari Memoriam..hehe). Akhirnya pada 16 November 2011, 8.45 waktu Merapi, Kami menginjakkan kaki di Puncak Merapi. Tepaty 1 jam.Akupun merekam  dan memotret momen sampainya Putri di Puncak pertamanya ini. Tak lupa kami mengabarkan keberhasilan kami dengan berteriak kepada Rizki dan Ryanti yang entah sedang ngapain di Memoriam sana. (hayo..ngapain hayo... hehehe.. just kid my pren...)
          Rasa syukur dan senang karena berhasil menggapai Puncak Merapi (lagi), serta mengantarkan Putri ke Puncak Merapi. Aktifitas kami di puncak seperti biasa, mengabadikan Momen-momen puncak a.k.a ber-Narsis ria. Tapi di Puncak kali ini ada yang berbeda, ada suara gemuruh (tapi bukan suara angin) yang berasal dari arah kawah aktif disertai dengan asap gas belerang yang mengepul tebal menutupi kawah mati dan kawah aktif Merapi. Ada sedikit kekhawatiran, tapi sepertinya euphoria menggapai puncak mengalahkan rasa takut itu. 
          Sayangnya, awan  mulai naik, dan kabut sesekali menyelimuti Puncak, sehingga menghalangi kami untuk menikmati keindahan pemandangan dari ketinggian ini. Namun, saat kabut hilang, pemandangan awan yang berjajar seperti lautan menghiasi langit Jogja dan sekitarnya. sekali lagi, kita di atas awan, Kawan!! dan kali ini kita di tempat yang lebih tinggi!!

Menggapai Puncak Merapi, 8.45 waktu Merapi
BIO-EDC'09 di Puncak Merapi (Lagi)
Di Atas Awan
Sekali lagi Merah-Putih berkibar di Puncak Merapi
Merdeka!!
Ber-HP ria di Puncak Merapi
Pose Ra' Jelas
Menikmati Ketinggian
Di Bibir Kawah, di Lereng Puncak
Putri - Arie di Puncak Merapi
Jaket Kebesaran yang telah mencapai 8 Puncak Gunung
Kepulan Asap Belerang dari Kawah Aktif Merapi
          Pukul 9.10 kami turun dari Puncak Merapi, suara gemuruh masih saja terdengar, tak pernah berhenti. Perjalanan turun lebih sulit dibandingkan pendakain sebelumnya, karena dulu masih ada pasir yang bisa dimanfaatkan untuk prosotan, sehingga perjalanan turun lebih cepat dan efisiensi tenaga. Kali ini kami harus berjalan pelan, menapaki satu-persatu tebing-karang yang ada.
          Sampai di track pasir, seperti pendakian sebelumnya, aku mencoba turun dengan berlari. Putri yang sudah berlari lebih dulu kuminta untuk merekam lariku di atas pasir dengan kemiringan sekitar 60 derajat itu. Sambil berteriak aku berlari hingga ujung Tanjakan Pasir, hingga kedua sandalku terlepas saking cepatnya. Kemudian aku naik lagi beberapa meter untuk mengambil snadal Eiger kebangganku itu. Ternyata oh ternyata, sandal kiriku Bedhat a.k.a Jebat alias putus. 
"Dibutuhkan pengorbanan untuk sebuah aksi yang menyenangkan"
Nasib-nasib!! tapi tak mengapa, paling tidak ada dokumentasinya. Kemudian dengan terseok-seok aku berjalan menuju memoriam, menyeberangi Pasar Bubrah lagi. Sampai di sana kulihat Ryanti tidur berselimutkan SB dengan enaknya, sementara Rizki sepertinya baru saja selesai makan (lagi) di samping tugu Memoriam baru. Aku kemudian membuat susu coklat panas untuk menghangatkan badan yang dingin diterpa kabut. Setelah itu kami packing dan tak lupa photo-photo (lagi dan lagi..).

          Pukul 10.45 kami turun meninggalkan Memoriam Baru melalui jalur semula. Melewati Watu Gajah, lalu berhenti di tebing sebelum titik pertemuan. Cukup lama kami berhenti di sini, lalu kami berjalan lagi menuruni jalur lumut. Perjalanan turun terasa lebih lama, dan memang ternyata lebih lama. Waktu yang dibutuhkan untuk turun dari Memoriam sampai Pos I hampir sama dengan waktu yang dibutuhkan dari Pos I naik ke Memoriam. Ironis!!


          Di Pos I kami berhenti lagi untuk minum dan makan wafer, lalu berjalan pelan menuruni track hutan yang cukup licin karena kerikil-kerikil di sepanjang jalur. Tapi paling parah adalah track ladang, perjalanan sangat lambat karena banyak kerikil yang membuat jalur menjadi sangat licin dan sangat rawan tergelincir. Meskipun pakai sandal Eiger, tapi di sisni kami harus tetap pelan-pelan.
          Kami sampai di NEW SELO sekitar pukul 1.45, kami berhenti lagi untuk membeli Es Teh, tapi ternyata tidak ada yang menjual es di NEW SELO (ya iyalah, musim hujan gini siapa yang mau beli es. sepertinya Hanya kita Kawan!! haha..) Akhirnya kami hanya membeli gorengan dan Pisang Raja, yang kata Rizki, berdasrkan penelitian, pisang Raja bisa mengurangi rasa lelah. (tapi sama saja menurutku, tetap saja terasa lelah.)
Oiya, ada cerita yang membuat Kami (Arie, Rizki, Ryanti) tertawa jika mengingatnya (apalagi saat melihatnya), begini..
Saat turun gunung, Putri membawa sampah yang digantung di tasnya, hal tersebut membuat tasnya 'dirubungi' lalat selama perjalanan, banyak sekali lalat yang 'berpartisipasi'. Tidak tau kenapa saat melihatnya aku, Rizki, dan Ryanti tertawa, lucu saja melihatnya. Sampai Putri bingung sendiri dimana letak hal lucu ditubuhnya, dan dia tidak sadar bahwa tubuhnya 'membawa' lalat gunung sampai New Selo. hahaha...Dasar Putri Lalat Gunung..
          Kemudian kami melanjutkan perjalanan turun menapaki aspal, dan kami sampai di Basecamp BaraMeru Merapi pada pukul 2,15 siang waktu setempat. Kami kemudian bersih-bersih badan (bukan mandi), lalu meninggalkan Basecamp setelah membayar parkir motor. (@ Rp4000) Ya, begitulah cerita perjalanan Pendakianku kali ini. Sangat menyenangkan, dan mengesankan.
           Thankz to Allah yang selalu melindungiku (dan teman-temanku), sehingga kami bisa mendaki dengan lancar dan sukses. terimakasih untuk Rizki, Ryanti, dan Putri yang telah berpartisipasi dalam pendakian kali ini, kalian memberikan cerita baru untuk anak-cucuku nanti. hehehe.. Thankz lagi buat Rizki yang telah 'memperbaiki' sandal Eiger kiriku, sehingga aku tidak nyeker saat turun gunung. Thankz banget bro!!  Thankz to Rani atas Kompornya. :) dan terimakasih untuk semua pihat yang terlibat yang membuat acara ini berjalan lancar yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.
Hal yang tak direncanakan biasanya berjalan lancar (Ari Fendianto, 2011).
Sampai ketemu di pendakian selanjutnya...