Kamis, 29 Desember 2011

Pendakian Lawu via Candi Cetho 2011


23 Desember 2011
Molor 1 jam dari jadwal semula, kami bertiga (Arie C-007-PMTG, Rohman C-016-PMTG, Andank C-040-PMTG) berangkat dari kampus UIN Jogja dengan 2 motor. Kami langsung di sambut jalan macet di depan Amplaz, Nggremet!! Sepertinya akan melelahkan. Di luar rencana juga, ada teman Andank yang ‘ngeyel’ ingin ikut kami mendaki Lawu kali ini. Jadilah kontingen Jogja menjadi 4 orang. Rico, DTE’10, telah menunggu di Klaten dengan daypack eiger-nya. Sepertinya kurang persiapan. Di Klaten, kami berhenti untuk shalat Maghrib, baru setelah itu melanjutkan perjalanan menuju Sekre Brahmahardhika di UNS.
Sekitar pukul 7 malam kami sampai di gerbang depan kampus pusat UNS, kemudian Cebret (C-033-PMTG) menjemput kami dan membawa kami sampai Sekre yang berada di Gedung UKM FKIP UNS. Kampus UNS terlihat nyaman dengan rindangnya pepohonan di sekitar gedung-gedung kuliah. Tata ruangnya juga rapi. Keren pokok’e!!
Di sekre ada beberapa orang anggota Brahma, namun hanya 3 di antara mereka yang akan ikut mendaki, Riwut, Yunus, dan Ririt a.k.a Cebret a.k.a Bocor. Kemudian bertambah Bitha (teman Ririt, bukan anggota Brahma, Mahasiswa POK), tapi kami masih harus menunggu 2 teman Riwut (bukan anggota Brahma, Mahasiswa Pendidikan Geografi) yang tak kunjung datang. nganti ngantuk!!
Saat ngobrol-ngobrol dengan teman-teman, maz Nasir (BIOLASKA) telpon dan berpesan untuk hati-hati saat mendaki, karena malam sebelumnya (Kamis malam, 22/12) ada yang meninggal di Puncak Lawu karena Hypothermia. Aku bertanya pada teman-teman Brahma, dan memang benar, ada yang meninggal di Lawu, Mahasiswa UNS, saat Diksar Mapala Universitas. Saat itu juga perasaanku menjadi tidak enak, tapi aku terus berkata pada diriku sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Ku putuskan untuk tetap mendaki esok hari.
Sekitar pukul 9.30 mereka datang, dan kami segera menyiapkan barang-barang kami. Setelah berdo’a kami langsung berangkat menuju Candi Cetho dengan formasi ; Riwut - Ririt, Rohman - Bitha,  Rico – Yunus, Andang – Arie, dan Wesa – Z. Dari jalan Tawangmangu, kami berbelok memasuki Gapura Wisata Candi Cetho. Jalan mulai naik turun dan berkelok-kelok khas kaki gunung. Tanjakannya pun kadang terlalu curam, sehingga kami (yang pada mbonceng) harus turun dan berjalan karena motor tak kuat mengangkut 2 orang. Kami juga melewati kebun teh, namun sayang karena gelap kami tak bisa menikmati keindahannya. Tapi kami mendapatkan pemandangan yang jauh-jauh lebih indah, yaitu kerlip lampu kota di sekitar kaki gunung Lawu. Amazing!!
Setelah sekitar 2 jam perjalanan, kami sampai di rumah teman sekelas Riwut, Dakor, hanya berjarak 1 rumah dari Candi Cetho. Dari jalan aspal depan rumahnya, pemandangan lampu kota terhampar luas. Klaten, Solo, Karanganyar, dan sekitarnya. Jauh melebihi Bukit Bintang. Jauh sekali.
Malam ini kami akan tidur di homestay Dakor ini, baru esok pagi kami mulai mendaki gunung Lawu ini. Setelah memasukkan barang-barang, kami makan makanan yang telah disiapkan Dakor dari maghrib tadi sambil merencanakan logistic yang akan kami bawa ataupun yang akan kami tinggal. Setelah itu kami bergegas tidur karena rencananya kami akan start maksimal jam 7 pagi.

24 Desember 2011
            Setelah shalat Subuh, aku keluar menikmati view Merapi Merbabu yang berdiri lurus dengan jalan depan Homestay. Cuaca pagi ini cukup cerah meskipun banyak awan berceceran di langit. Maklum, musim hujan. Di sini, sinyal kadang sulit ditemukan. Hanya ada beberapa titik yang ku temui selalu ada sinyal. Jadi harus pinter-pinter nyati spot. Hehehe..
            Setelah bersih-bersih body, sarapan, dan packing, kami berdoa dan mulai pendakian pada pukul 8.15. Molor 1 jam 15 menit. Formasi pendaki bertambah menjadi kesebelasan, Dakor juga ikut bersama kami. Ririt berada di paling depan karena dia yang hafal dengan jalur ini, sedangkan Dakor berada di paling belakang sebagai sweeper.
            Pendakian dimulai dengan berjalan di jalan berundak di sisi kiri Candi cetho, kemudian jalan menurun memotong sungai kecil, lalu mendaki lagi menuju Candi Kethek yang berada sekitar 300 meter dari Candi Cetho. Di Candi Kethek kami bertemu 2 pendaki menggendong carrier dengan bagcover eiger warna orange. Sepertinya mereka sudah expert, pikirku. Selepas Candi Kethek jalur masih landai melewati ladang penduduk. Jalur perlahan menanjak, semakin lama tanjakannya semakin tinggi dan curam. Ditambah lagi dengan beban full carrier (beberapoa full daypack) di punggu plus sinar matahari yang mulai meninggi membuat tubuh kami basah oleh keringat. Setelah berjalan 45 menit, sekitar pukul 9 kami sampai di Pos I. Pos I berupa Tempat berteduh berbentuk tenda Pramuka yang terbuat dari gedheg (dinding yang terbuat dari anyaman bambu) yang berada di sisi kiri jalur pendakian. Di sini kami beristirahat sekitar 15 menit untuk mengembalikan energy kami.
            Selepas dari Pos I, jalur kembali menanjak, jarang ada bonus. Jalurnya mirip jalur Slamet via Guci; setapak, vegetasi bawahnya rusek, meskipun kanopi dan hutannya tak selebat Slamet. Jalur tanahnya basah, sedikit licin, sepertinya semalam hujan. Kami berkali-kali berhenti untuk menghela nafas, minum, dan melemaskan kaki-kaki kami menghadapi tanjakan-tanjakan ini. Pukul 9.54 kami sampai di Pos II. Pos II berbentuk seperti Pos I, namun Pos II berada di kanan jalur pendakian dan berukuran sedikit lebih kecil di bandingkan Pos I.
            Jalur dari Pos II ke Pos III masih sama, sempit dan nanjak abizz!! Namun untungnya cuaca sedikit bersahabat, berkabut, sehingga tidak terlalu menguras tenaga kami. Tapi negatifnya, kami tidak bisa menikmati keindahan pemandangan di kanan, kiri dan belakang kami. Di jalur ini, aku tersengat Lebah Madu (Apis indica) di Belakang mata kaki kananku. Lumayan cenut-cenut, dan terus terasa gatal. Minyak kayu putihpun hanya bertahan 30 menit. Setelah itu terasa lagi cenut-cenutnya. But it’s okay. Akhirnya pukul 11.19 sampai Pos III. Pos III berupa Pondokan pendek tanpa dinding yang cukup menampung 8 orang duduk di dalamnya. Di samping kanannya ada lahan yang cukup untuk mendirikan 1 dome. Kami beristirahat cukup lama sambil nge-mil roti dan cemilan untuk sedikit mengisi perut kami karena kami berencana masak dan makan siang di Pos IV nanti.
            Track selanjutnya masih sama, Tanjakan Tanpa Ampun! Jalurnya terus menanjak, dengan sangat sedikit bonus. Untung saja Putri (C-042-PMTG) dan Fatika (BIO-EDC) tidak jadi ikut. Kalu mereka ikut, entah apa yang akan terjadi. Hehehe.. Kabut semakin tebal saja, bahkan sampai menurunkan gerimis-gerimis kecil. Kami masih terus mendaki, mengangkat kaki lebih tinggi, menapaki tanah basah agar secepatnya mencapai Pos IV. Gerimis sedikit lebih deras,m tapi aku masih belum peduli, masih terus berjalan, dan tetap sering berhenti. Bahkan saat gerimis berubah menjadi hujan pun aku enggan memakai mantol, karena ku piker hujan ini tidak akan lama karena hanya hujan dari kabut. Tapi ternyata hujan menjadi-jadi. Lebih deras. Tapi aku terus berjalan karena tidak ada tempat berteduh untuk memakai mantol, kata Ririt Pos IV juga sudah dekat. Aku semakin yakin jika Pos IV sudah dekat saat melihat Plakat warna silver yang menempel di Salah satu batang pohon. Ukurannya terlalu besar untuk sebuah petunjuk jalan. Aku memacu kakiku meski sudah sangat ingin berhenti, sementara hujan juga masih mengguyur tubuh beserta carrierku. Tapi aku sudah mengantisipasi dengan melapisi dalam carrier-ku dengan trashbag, sehingga meskipun kehujanan barang-barangku tetap aman.
            Akhirnya aku sampai di plakat yang memang bertuliskan Pos IV, di samping kiri bawah plakat tersebut terdapat gubuk kecil tanpa dinding yang lebih “sederhana” dibandingkan Pos III tadi. Di bawah atapnya terlihat 2 pendaki Eiger orange tadi yang sedang berteduh dari hujan deras ini. Akupun ikut berteduh bersama mereka, meskipun tempat ini sempit, dan banyak bocor di sana sini, tapi paling tidak bisa melindungi dari air hujan. Memang relatif sempit, paling banter hanya bisa menampung 6 orang duduk. Sementara rombonganku bersebelas. Tapi belum ada satupun dari mereka yang terlihat, aku memang berjalan lebih dulu tadi. Sambil menunggu, aku ngobrol-ngobrol dengan 2 pendaki di sampingku sambil membuka carrier dan mengeluarkan “mantol egois”ku, kemudian aku memakainya.
            Tak lama kemudian Ririt muncul dengan Mantol Kuningnya, egois juga, disusul Bitha, egois juga, dan yang lainnya memakai mantol Batman mereka. Kami kemudian memperlebar atap Shelter dengan menggunakan seng yang lepas ditambah mantol batman yang diikat dengan tali, meskipun hujan mulai mereda. Karena di sini kami akan istirahat cukup lama untuk masak, makan, dan shalat. Menu makan siang hari ini adalah Nasi, Mie instan + Sawi, serta telur dadar. Lumayan untuk mengisi tenaga kami karena tanjakan Tanpa Ampun belum berakhir. Kata Ririt jalan akan masih menanjak sampai Sabana 1 di atas Pos V. Matahari sesekali terlihat saat kabut terbuka, namun segera tertutup lagi. Setelah makan, kami shalat Dzuhur + Ashar di Pos IV ini. Setelah semua siap, sekitar pukul 3 sore kami melanjutkan perjalanan yang masih lumayan jauh untuk mencapai Hargo Dalem.
            Kami mulai menapaki satu persatu pijakan kaki di tanah yang licin masih di Tanjakan Tanpa Ampun. Kami harus bergegas karena akan ‘repot’ jika sampai di Pasar Dieng a.k.a Pasar Setan saat hari sudah gelap, karena jalur sulit terlihat. Aku masih memakai mantolku meskipun hujan sudah reda, untuk jaga-jaga karena cuaca di sini benar-benar tak bisa diprediksi. Sekitar bpukul 4 kami sampai di Pos V. Di sini memang tidak tulisan Pos V karena mungkin dilepas oleh pendaki tak bertanggung jawab. Tanda bahwa kita sudah sampai Pos V adalah 2 cemara kembar yang hampir sama besar yang membentuk seperti gapura. Seperti di pos-pos sebelumnya, kami beristirahat di sini. Tapi tak lama kemudian hujan kembali mengguyur, cukup deras. Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan lagi. “Sama-sama kehujanan mending kita berjalan saja.” Kata Ririt.

            Track dari Pos V diawali dengan turunan dan jalan landai, tapi bonus itu tak bertahan lama karena Tanjakan Tanpa Ampun masih harus kami lewati sampai mencapai Sabana I. Hujan masih terus menetes, meski kadang hanya rintik-rintik. Tangan sudah mulai membeku karena terus terbasahi air hujan. Jalur Pos V – Sabana I cukup rapat karena jalur ini memang belum sepopuler Cemoro Sewu atau Cemoro Kandang, jarang dilalui. Di tanjakan terakhir sebelum Sabana I, jalur tak begitu terlihat jelas. Jika belum hafal jalur, disarankan untuk melihat dengan seksama sisa-sisa jejak pendaki sebelumnya.

Bersambung...

2 komentar: