Kamis, 21 Juli 2011

NAPAK TILAS PENDAKION SINDORO

"Mendaki gunung bukan hanya tentang menggapai puncak, tapi juga tentang bagaimana kita menikmati pendakian itu sendiri.."
( Ari Fendianto, C-007-PMTG )

          Kali ini aku akan membagi cerita pendakianku di gunung Sindoro untuk yang kedua kalinya setelah pendakian pertamaku 2 tahun silam, makanya postingan ini kuberi judul Napak Tilas. Kali ini aku hanya berdua dengan Lilik karena crew lain Seperti Kakex, Agus, Endock, dll baru saja turun dari Sumbing. dan yantg lainnya sedang ada urusan lain. So, ini ceritaku...

19 Juli 2011
         Sekitar pukul 9.00 pagi Lilik menjemputku, lalu kami bergegas tancap gas ke Baecamp Sindoro di Kecamatan Kledung. Setelah perjalanan 2 jam yang cukup membuat pinggang pegel akhirnya kami sampai di Basecamp Gunung Sindoro. Masih sama seperti 2 tahun 8 hari lalu. Aku dan Lilik langsung mendaftarkan diri pada pengelola Basecamp dengan meninggalkan KTP serta membayar retribusi pendakian sebesar Rp3.000,00/ orang serta Rp5.000,00 untuk parkir 1 motor. Tepat pukul 11.10 kami memulai pendakian napak tilas ini.
          Jalan desa dengan tatanan batu mengawali perjalanan kami, melewati beberapa rumah penduduk yang ramah-ramah, lalu baru kami memasuki etape pertama, ladang. Tidak seperti gunung-gunung lainnya, etape ladang Sindoro sangatlah panjang. Jalan besar masih dengan tatanan batu terus kami lewati di antara tanaman Tembakau. Satu jam berlalu, dan kami masih berada di ladang, mungkin baru setengahnya karena kulihat hutan masih cukup jauh. Kami berhenti untuk Shalat Dzuhur di pinggir jalan, lalu kembali melanjutkan langkah kami. Perjalanan terasa berat sekali karena beban di punggung kami cukup berat. Di carrier hijauku berisi Air 6 liter, serta logistik dan equipment lain. sedangkan di Eiger Lilik berisi Dome Rei kapasitas 4 orang, Air 3 Liter, Nisting, Serta logistik da equipment lainnya.
          Sekitar 40 menit kemudian kami sampai di batas hutan dan ladang. Jalur di etape hutan berupa jalan tanah yang cukup lebar dan masih relatif landai. Kami berhenti lagi untuk makan siang. Nasi telur bekal dari rumah menjadi menu makan siang kali ini. Kenyang... Lalu kami melangkahkan kaki kami lagi melewati jalan setapak yang masih landai dan memasuki hutan yang lebih lebat. Pukul 1.20 kami sampai di Pos I, yang kini hanya berupa lahan kosong yang cukup untuk 2 dome. Kami istirahat sejenak, minum, lalu kembali berjalan menyusuri hutan yang masih landai. Beberapa menit kemudian jalan berubah menuruni lembah lalu mendatar dan kemudian menanjak. Cukup melelahkan. Kami berhenti lagi di tempat dulu aku dan 7 founder PMTG lainnya berhenti dan mengabadikannya dalam foto. Sedikit nostalgia, Ini fotonya..
11 Juli 2009
Lanjut...
Kami berjalan lagi, meskipun tetap saja sering berhenti. Hingga akhirnya sampai di Pos II pada pukul 2.15. Pos II kini hanya berupa tanah kosong, tak seperti 2 tahun lalu yang terdapat gubuk/ pondokan. Dari pos II, jalur pendakian sedikit-sedikit mulai menanjak, semakin tinggi, dan semakin sering berhenti. 30 menit kemudian kami sampai di Batu besar tempat menuliskan Prasasti berdirinya PMTG. Kami berhenti lagi untuk minum dan melemaskan kaki. Dari Batu ini, jalannya nanjak abizz!! hampir tak ada bonus. Tapi kami tetap semangat untuk mencapai target, nge-Camp di Puncak. Sekitar pukul 3.30 kami melihat ada camp rombongan Purwodadi, lalu kami berhenti dan ngobrol-ngobrol dengan mereka. Kami bertanya pada mereka, kok baru sampai sisni padahal naiknya tanggal 18 Juli. Salah satu dari mereka menjawab " Mau bengi nge-Camp nank Ladang." Kami tertawa mendengar jawabannya. Konyol. hahaha..
          Kami kemudian pamitan untuk melanjutkan perjalanan kami yang (sepertinya)masih cukup jauh. Sekitar 2 menit kemudian, kami ternyata sudah sampai di Pos III. Aku dan Lilik berhenti lagi, meletakkan carrier kami, lalu aku turun ke camp rombongan konyol tadi untuk memberi tahu bahwa Pos III hanya 2 menit di atas camp mereka. Beberapa langkah dari Pos III ku dengar suara segerombolan monyet, yang kemudian disusul suara teriakan Lilik sambil berlari ke arahku. Akupun ikut berlari karena ku kira monyetnya mengejar Lilik. Hahaha.. Sampai di Camp Purwodadi, kami mengatur nafas kami sambil bercerita tentang yang baru saja terjadi. Akhirnya, kami duduk cukup lama di Camp mereka, menunggu agar monyet-monyet itu pergi dari Pos III sambil berharap carrier kami aman. Sekitar 30 menit kemudian, kami melanjutkan perjalanan setelah makan roti bakar pemberian mereka. Masih hangat. Seumur hidup, baru kali ini aku makan roti bakar di gunung.
          Sampai di Pos III, ternyata monyet-monyet itu sudah tidak ada, dan carrier kami masih utuh. Alhamdulillah. Lalu kami bergegas Shalat Ashar dengan beralaskan mantol, lalu melanjutkan perjalanan kami. Jalan langsung menanjak, membuat kami yang sudah cukup lelah semakin sering berhenti. Kabut tebal telah menutupi puncak Sindoro, gerimis turun menciutkan tekat kami untuk terus mendaki. Kami sempat berhenti di sebuah camping site, tapi akhirnya kami putuskan untuk mendaki lebih tinggi. 15 menit berjalan lagi, kami mendengar suara binatang lagi, tapi bukan monyet. Dari suaranya, kami yakin bahwa itu adalah babi hutan a.k.a Kemin alias Celeng. Kami pun segera berjalan lagi, mencari tempat nge-camp yang lebih tinggi, yang cukup jauh dari suara Babi hutan tadi. (Animal Series ki). Setelah cukup tinggi, dan badan terasa ingin berhenti, dan jam sudah menunjukkan pukul 5.30, kami akhirnya memutuskan untuk mendirikan dome di antara pepohonan di bawah sabana. Dome Rei Biru Baru milik TBM pun berdiri dengan gagahnya d antara kabut senja gunung Sindoro. (Halah..)
          Setelah dome berdiri, kami segera menata barang-barang kami, Salat Maghrib, masak untuk makan malam kami, Salat Isya', lalu kami merebahkan tubuh kami untuk segera tidur meskipun masih pukul 8.00 malam. Namun sampai pukul 9.00 aku masih belum bisa memejamkan mataku, begitu juga Lilik. Dan gerimis mulai turun lebih deras..

20 Juli 2011
          Pukul 5 aku terbangun. Ternyata tidurku nyenyak sekali sampai-sampai alarm yang ku pasang pukul 4.00 tak terdengar sama-sekali. Aku segera membangunkan Lilik, lalu kami salat Subuh dan memasak air untuk membuat kopi. Di sela-sela memasak air itu Lilik bercerita bahwa dia baru bisa tidur sekitar pukul 12.00 malam tadi, saat hujan cukup deras mengguyur dome kami. Tapi untunglah dome ini cukup SNI, sehingga tak ada air yang menerobos ke dalam dome. Kami baru beranjak dari dome saat gerimis telah berhenti. Kami keluar dan melihat semuanya basah, pepohonan, dome, rerumputan. Langitpun masih tertutup awan kelabu, hanya di ufuk timur terlihat seberkas cahaya orange yang semakin laa semakin jelas dan indah. Lilikpun mengabadikannya dengan iPhone-nya, karena kami tidak membawa Camera Digital. 
          Tepat pukul 6.00 kami mulai Summit attack meskipun langit masih suram. Kami hany membawa Carrier Lilik dan hanya berisi Air 1,5 Liter, Roti sobek, snack,  jaket, mantol, serta barang-barang berharga kami. Dome, dan barang-barang lainnya kami tinggal dan pasrahkan pada Yang Maha Kuasa. :) Semoga aman. amien. Kami mulai melangkah di tanah basah yang menanjak, meskipun beban yangt kubawa mungkin hanya 2 kg, tapi perjalanan tetap terasa berat, tak terbayang jika kami membawa semua barang kami.
          48menit kemudian kami sampai di Watu Tatah, kami berhenti untuk makan roti sobek,m inum, dan foto-foto. Aku terkejut saat melihat tulisan putih di salah satu batu. Itu adalah tulisan yang ku buat 12 Juli 2009 lalu. Di sini, 2 tahun lalu Aku bersama 7 orang Founder PMTG berhenti untuk foto sunrise. Ternyata masih ada. Seyelah cukup istirahat, kami berjalan lagi menyusuri jalan setapak yang terus menanjak. Lilik berkali-kali tertipu oleh puncak palsu, yang ia sebut dengan "Bukit Penyesalan" yang dia hitung jumlahnya ada 5. Jadi untuk para petualang yang belum pernah mendaki Gunung Sindoro, harap bersabar dengan tipuan Puncak Palsu setelah Pos III Dindoro.
          Pukul 7.30, kami sampai di Memoriam. Berarti Puncak tinggal sebentar lagi. Kami terus berjalan meski kaki sudah mulai gempor. Mendaki tiap tanjakan, di antara rerumputan setinggi lutut, lalu berjalan di antara tumbuhan Kayu Asam. Dan kulihat puncak bukit yang tak ditumbuhi tanaman, kuyakin itu puncak Sindoro. Terus kupacu kaki, dan alhamdulillah...
PUNCAK GUNUNG SINDORO (3153 mdpl)
20 Juli 2011, 7.44 am
Aku berteriak kepada Lilik yang masih berjalan mendaki Bukit Penyesalan terakhir ini. Alhamdulillah...
          Di sini, 2 tahun lalu ku berdiri bersama founder lainnya : Kakex, WeJe, Agus, Ian, Cahyo, Sidiq, dan Kampret. Dan juga berfoto bersama teman-teman DiverVenture : Dhika, Fahmi, Diana, Ayu', Fino, dan Wisnu. Hari ini, Pendakian Napak Tilas Terbentuknya PMTG adventure di Gunung Sindoro telah berhasil ku selesaikan. Hmm...
see you on the next mountaineerings...

Kamis, 14 Juli 2011

A JOURNEY TO SAMBOLO BEACH, ANYER

Huy! para pecinta petualangan,,
          Di postingan kali ini aku tidak akan berbicara tentang pendakian di salah satu gunung, tapi aku akan membagi petualanganku di salah satu pantai di Kota Baja. Ini ceritaku..
*****
          Ini adalah hari keempatku berada di Cilegon, tepatnya di PCI, rumah kakakku. Aku  dan adik iparku memang telah lama berencana untuk menghabiskan liburan semester genap yang cukup lama ini di sini. Namun, 2 hari pertama aku dan adikku hanya di rumah saja karena kondisi tubuh yang kurang fit. baru hari ketiga kemarin aku pergi agak jauh ke Ramayana untuk membeli pakaian bagus dengan harga yang sangat murah karena diskon. Bayangkan, kemeja merk Platini seharga Rp259.000,00 hanya menjadi Rp77.000,00. hahaha..Tapi akhirnya aku "kepincut" a.k.a tertarik dengan baju lapangan The North Face abu-abu tua seharga Rp75.000,00. (kayaknya sih bajakan, tapi yang penting aku suka.. Whatever People Say!!)
          Ini adalah hari keempat, dan hari ini aku akan membagikan sedikit cerita tentang perjalanan liburanku ke Anyer, tepatnya di Pantai Patra Bendulu, atau lebih dikenal dengan nama Pantai Sambolo.
          Pantai Sambolo adalah sebuah pantai pasir tanpa karang yang terletak di sebelah barat daya kota Cilegon. Aku dan adikku, Taufiq Alhamdani a.k.a Opik, berang kat dari rumah (PCI) pada pukul 1.55 siang dengan angkot warna ungu yang biasa lewat jalan depan perumahanextra luas ini. Karena macet, beru setengah jam kemudian kami sampai di Supermall Cilegon, lalu kami turun dengan membayar ongkos Rp3.000,00 per orang. Kemudian kami naik Angkot warna silver untuk bisa sampai di Anyer. Jalan masih macet (karena masih di Kota Cilegon), bunyi klakson seperti tak henti-hentinya terdengar. Koyo Medan wae.. hehe..  Setelah keluar dari kota jalan mulai lengang, namun jalan yang tadinya rata kini berubah, sangat-sangat tidak layak. Jalan berlubang di sana-sini, bahkan lebih parah dari cilacap (berlubang). Mungkin karena di sana merupakan daerah industri, yang menggunakan truk-truk besar untuk membawa bahan baku atau produk jadiya ke luar pabrik. Sepanjang jalan (rusak parah), aku melihat beberapa ondustri besar, seperti Krakatau Steel, Indocement (Semen Gresik), Petrochemical, Sankyu International, dan masih ada yang lain. (lupa namanya). ya, sepanjang jalan aku melihat-lihat suasana Cilegon dari balik jendela angkot yang terus melaju melintasi Jalan raya anyer.

 Peta Cilegon (PCI) - Pantai Sambolo Anyer

          Sekitar pukul 3.25 kami sampai di Pantai Sambolo Anyer dengan ongkos Rp7.500,00 per orang. Kami segera masuk ke Objek wisata ini dengan membayar tiket Rp2.500,00 per orang. Setelah membayar, kami langsung menuju pantai yang tak jauh dari jalan raya tersebut. Wow.. Ternyata memang cukup indah. Pantai pasir tanpa karang dengan ombak yang cukup kecil. Sayangnya cuaca sore ini tak begitu cerah, agak sedikit mendung, sehingga pemandangan kurang begitu bagus, terutama hasil  gambar di foto. Namun kami tetap menikmatinya seperti banyak orang yang datang sore ini.
 Pantai Sambolo Anyer
 Opik - Arie

Beach Jumping

 PMTG de Anyer
 a Gift for

 Enjoy the view of Sambolo
          Rencana semula, kami hanya akan menikmati pemandangannya saja sambil berfoto-foto di sini, paling jauh mungkin hanya bermain air. Tapi saat berjalan di pantai (daerah ombak), ada ombak yang cukup besar dan membasahi celana pendek kami, akhirnya kami putuskan untuk "nyemplung" sekalian meskipun kami tidak membawa baju ganti, hanya celana saja. Tanggung juga sudah jauh-jauh dari Magelang sampai Anyer cuma lihat-lihat. hehe.. Saat di pantai, memang lebih asik jika berenang daripada hanya berdiam di pinggir pantai dan melihat ombak. Gak seru!! Ombak yang tak terlalu besar membuat kami menikmati acara mandi di pantai ini tanpa takut terseret ombak.
          Saat mulai bosan minum air asin, kami berhenti dan duduk-duduk di atas pasir sambil mengambil gambar, melihat kanan kiri, dan juga serunya orang-orang yang sedang naik Banana Boat. Ada rasa ingin naik juga, tapi kami hanya berdua, terlalu mahal jika ongkos sewanya hanya dibagi berdua. Saat sudah merasa cukup istirahatnya, kami main air lagi, lalu istirahat, lihat-lihat lagi, lihat orang-orang lagi (cewe' terutama). :D Tiba-tiba ada 3 cewe' yang datang dan foto-foto di samping tempat kami duduk. Ku dengar dari percakapan mereka, sepertinya mereka asik-asik orangnya, cukup friendly, terutama yang berkaos biru . Kemudian aku bangkit, berencana untuk nyemplung lagi. Saat berjalan ke air, dia (Kaos biru) hanya bermain-main ombak di tepian saja, lalu ku sapa, "nyemplung sekalian aja. hehehe..", kemudian dia menjawab, "Wah, gak bawa baju ganti. Soalnya gak persiapan apa-apa.". Lalu aku berlalu ke laut, dia masih foto-foto.
           Beberapa saat kemudian, kulihat mereka bertiga naik ATV (yang harga sewanya Rp100.000,00 selama 20 menit. Gila!! ) dan kemudian menghilang tak terlihat lagi. Dan aku terus mandi, bermain ombak, istirahat lagi, foto-foto, dan menikmati matahari yang semakin bergerak ke barat.

Meluncur di atas ombak

 Opik di atas Papan luncur

         Banana Boat

           Tak berapa lama kemudian, mereka terlihat lagi. Mereka menghampiriku dan mengajak naik Banana Boat agar jumlahnya pas 6 orang, sementara mereka hanya 4 orang (ditambah 1 cowo' lagi), selain itu agar patungan ongkos sewanya lebih murah. Aku dan Opik setuju, dengan membayar masing-masing Rp25.000,00. Setelah sedikit ngobrol dan kenalan, ku tahu nama mereka, Lia (si kaos biru), Bobby, Putri dan Ismi (2 cewe' yang pake baju sama, ternyata kembar), mereka semua adalah kakak-adik.  Setelah memakai rompi pelampung yang disediakan, kami naik ke Banana Boat yang telah siap dengan urutan Lia, Bobby, Ismi, Putri, Opik, dan aku paling belakang. Here we go.... Semua berteriak dengan semangat saat Boat mulai berjalan menarik Banana kami. Ini pengalaman pertamaku naik Banana Boat, dan ternyata menyenangkan. Di perjalanan, kami di foto beberapa kali oleh salah satu crew Banana Boat dengan kamera milik Bobby, sambil terus berteriak-teriak melawan adrenaline yang terpompa. Dari atas Banana, aku bisa menikmati pantai, serta matahari yang mulai berwarna orange di atas hamparan Selat Sunda yang luas. Sungguh indah..dan menyenangkan sekali. Seperti wahana Banana Boat lainnya, di akhir perjalanan para penumpang akan dijatuhkan ke air, meskipun putri dan Ismi tak mau karena mereka tak bisa berenang, tapi tetap saja akhirnya kami semua tercebur ke air. Memang kami tercebur ke air sedalam leher, tapi ombak yang terus bergerak membuat tempat itu kadang menjadi lebih dalam. Putri dan Ismi memang tidak bisa berenang. Putri yang posisinya dekat denganku kemudian aku pegang tangannya dan kubawa ke tepi. Ombak membuatku terbawa ke posisi semula lagi karena pelampung malah membuatku sulit berenang. Lalu kucoba lagi untuk menarik Putri ke pinggir sampai pasir. Ya, sebuah pengalaman yang menyenangkan dan berkesan.
 Lia - Bobby - Putri - Ismi

          Kami kemudian hanya duduk-duduk di pasir pantai, ngobrol-ngobrol sambil menenangkan nafas kami yang cukup ngos-ngosan. Saat duduk-duduk ada hal yang lucu, tapi juga kasihan sebenarnya. Lia, yang duduk di pantai daerah ombak dengan papan luncur yang kami sewa tadi, tiba-tiba terhantam ombak dari belakangnya hingga terjungkir-balik. Antara tertawa dan kasihan. Tapi kami memilih untiuk tertawa, karena memang lucu. :)
          Matahari semakin hilang di balik awan, Kami semua kemudian meninggalakan pantai untuk mandi di kamar mandi umum dengan membayar Rp2.000,00 per orang. Aku dan Opik yang tak membawa kaos ganti hanya memakai jaket saja. Lumayanlah daripada pakai kaos basah, bisa masuk angin sampai Cilegon. Sebelum mandi, aku sempat minta FB+Nomor HP Bobby. Aku kemudian pamit untuk pulang duluan  lewat SMS karena mereka belum selesai mandi.

Plank Papan Nama di Pintu Masuk Objek wisata Pantai Sambolo anyer

          Beberapa menit menunggu, akhirnya angkot silver datang juga (sekitar pukul 6.15).  Kami pulang melalui jalan yang sama, dari Anyer memang mulus, tapi sampai di kawasan industri berlobang parah. Hujan deras tiba-tiba mengguyur saat sampai di Krakatau Steel. Di sini sepertinya tidak ada misim kemarau, karena hujan tetap ada sepanjang tahun. Satu jam kemudian kami sampai di supermall, kemudian ganti angkot ungu. Kami turun di Alfamart PCI untuk membeli beberapa barang, lalu berjalan kaki menuju rumah.  Kami sampai di rumah kakakku pukul 7.40.

          Hmmm...Benar-benar hari yang menyenangkan, Liburan di Pantai, Naik Banana Boat, punya teman baru, dan pengalaman baru.. Sangat berkesan..

Besok kemana lagi ya..?!
Tunggu ceritaku selanjutnya...
salam Petualangan..

Minggu, 10 Juli 2011

PENDAKIAN MERAPI PASCA ERUPSI : Menggapai Puncak Baru

          " Woy, Bro!! seko ngendi?" Sapa Kakex mengagetkanku yang sedang mengendarai si Biru.
          " Seko kampuz, bar ujian aku. Lha kowe seko ngendi e??"
          " ki bar ngeterke adiku. Eh, nek sesok aku ra iso melu, nek saiki malah iso.." aku memang berencana mendaki Merapi besok.
          " Mangkat!!" jawabku dengan reflek dan tanpa pikir panjang.
          " Lha dome'e??
          " Rasah!! nggo SB wae."
          " Tenanan ra?? nek SB-ku mono SNI, SB-mu kuwi lho sing mengkhawatirkan. hahaha.."
          " Tenan. Santai wae, nek kademen ya mengko tak rasakke. hehe.."
          " Siph!! Mangkat!!!

*****

          Berawal dari pertemuanku dengan Kakex a.k.a Taufiq Bayu Pamungkas di daerah Krakitan saat pulang dari Jogja. Akhirnya tercetus ide dadakan untuk Summit attack Merapi sore ini juga, tanpa persiapan apa-apa, tanpa dome, nisting, dan hanya membawa logistik seadanya. Inilah cerita tentang pendakian Merapi kesembilanku, dan pendakian pasca erupsi keempatku.

7 Juli 2011
          Sekitar pukul 5 sore, kakex menjemputku dengan carrier besar di punggungnya. Tapi isinya tak seberat kelihatannya, karena isinya hanya SB, air, makan malam, logistik, dan matras. Aku sendiri hanya membawa tas kuliah yang berisi SB, selimut, jaket, kaos PMTG, makan malam, dan air. Kami bergegas meninggalkan rumahku, lalu mampir ke rumah Winky untuk meminjam kamera, ke Genrush untuk beli batre kamera dan tissue, kemudian memacu motor ke jalan Talun sambil berharap jembatan Talun belum tutup karena hari mulai gelap.
          Satu setengah jam kemudian, kira-kira pukul 6.30 kami sampai di basecamp bara Meru merapi, setelah melewati dinginnya suhu dataran tinggi Ketep dan sekitarnya. Di basecamp kami bertemu dengan rombongan gabungan dari Solo, Bandung, dan yang satunya lupa. Mereka baru turun dari Merbabu, dan sebagian berencana mendaki Merapi jam 12 malam nanti. Setelah sedikit ngobrol-ngobrol dan bertukar pengalaman dengan mereka, Aku dan Kakex shalat Maghrib+Isya' lalu memulai pendakian pukul 7.30.

Starting Tracking Merapi

          Seperti biasa, Jalan aspal menjadi awal langkah kami sampai New Selo. 15 menit kemudian kami sampai di New Selo dan berhenti untuk makan malam.Nasi, Mie goreng dan bakwan menjadi menu makan malam kami. Pukul 8.00 kami lanjutkan langkah kami menyusuri jalan licin berdebu di etape ladang. Meskipun beban kami ringan, tapi kami tetap saja sering berhenti untuk mengambil nafas. Setelah etape ladang terlewati, kami disuguhi jalur setapak yang juga licin dan berdebu di etape hutan yang mulai hijau. Perjalanan malam ini terasa berbeda, sangat sunyi, karena hanya kami berdua yang mendaki gunung Merapi ini. Kami mencoba untuk terus ngobrol untuk membunuh kesunyian ini. Dengan penerangan 2 senter kami terus melangkah diantara pohon-pohon cemara gunung.
          Pukul 9.30 kami sampai di Pos I, kami beristirahat dan melepaskan beban dari punggung kami, tak lama, hanya sekitar 10 menit saja. Lalu kami berjalan lagi menerobos malam di jalur yang mulai menanjak lebih tinggi. Seperti biasanya, kami memilih Jalur Lumut (Jalur Edlweiss) di persimpangan beberapa ratus meter di atas Pos I. Jalur edlweiss memang terbukti dan teruji lebih mudah dan tidak terlalu melelahkan dibandingkan jalur utama. Jalur ini lebih landai, sehingga lebih menghemat tenaga. Dari jalur ini juga terlihat Gunung Sumbing dan Sindoro di kejauhan sana. Edlweiss yang selamat dari seleksi alam mulai memunculkan kuncup-kuncup bunga abadinya. Dahulu sebelum erupsi, jalur ini dipenuhi pohon edlweiss di kanan kiri jalur, tapi kini hanya tinggal sedikit, dan beberapa baru mulai tumbuh. semoga semuanya cepat kembali seperti sedia kala...
          sekitar pukul 10.20 kami sampai di pertemuan antara jalur Lumut dengan jalur utama, kemudian kami bergegas menuju Pasar Bubrah. kami berjalan di jalur terbuka, memotong angin yang bertiup dari arah barat. dingin. Akhirnya kami putuskan untuk tidur di sebuah gua di dekat Watu gajah. Gua itu sepertinya gua buatan yang cukup untuk tidur 2 orang. Kami segera bongkar muatan, lalu menyiapkan tempat tidur kami malam ini. Saat bongkar barang-barang dari carrier, Kakex menyadari bahwa ada satu barang yang hilang, Ternyata bungkusan nasi tidak ada, terjatuh di New Selo saat berhenti tadi. Sedikit menyesal, tapi ya sudahlah, paling tidak masih ada 2 ekor lele goreng, roti basah, mie instan, dan cemilan. Setelah sedikit ngobrol-ngobrol dan makan cemilan, kami bergegas membungkus tubuh kami dengan SB, lengkap dengan kaos tangan dan kaos kaki, lalu tidur. Benar-benar beratapkan langit dengan berjuta bint*ng yang tersebar. Kadang-kadang terlihat sekilas binta*ng jatuh, dan malam inipun aku melihatnya lagi...

8 Juli 2011
          Aku membuka mata sekitar pukul 4.30 karena dibangunkan Kakex untuk segera Summit Attack. Benar-benar tidur yang nyenyak tanpa gangguan dingin, Bahkan lebih nyenyak dari tidur di dalam dome beberapa hari yang lalu di Pasar Bubrah saat mendaki bersama Ririt, WeJe, Udin, dan Kakex. Aku segera bangkit, membuat segelas kopi untuk menghangatkan tubuh, shalat Subuh, lalu packing semua barang-barang kami. Langit masih gelap, dan kami mulai melangkah di atas tanah terjal berbatu untuk mencoba menaklukkan puncak Merapi yang telah lama tak kunikmati. Terakhir aku berdiri di Puncak merapi hampir setahun lalu, tepatnya 17 agustus 2010.

 Ready for Summit Attack

          Di samping tebing sebelum jembatan setan kami bertemu dengan rombongan gabungan yang sedang kedinginan, serta rombongan turis yang terus berjalan mendaki Memoriam Monuments. Kami pun terus berjalan, karena kami harus sampai puncak sepagi mungkin. Angin masih cukup dingin berhembus menerpa tubuh kami pagi ini. Sekitar pukuln 5.00 kami sampai di puncak bukit memoriam, lalu berhenti sebentar menatap langit timur yang mulai menorehkan senar jingganya. namun, kami segera berjalan lagi, karena sepertinya Sunrise masih cukup lama.

 Menanti Sunrise di Memoriam Monuments

          Kami menuruni Pasar Bubrah dan menuju ke arah kiri, ke arah Kawah Woro lalu baru belok kanan saat sampai di kaki bukit Puncak Merapi. Kami mencoba jalur pasir seperti beberapa orang yang mendaki puncak Merapi 4 hari lalu. Ternyata tak semudah yang kulihat, terasa berat sekali mendaki di pasir labil dengan kemiringan sekitar 60 derajat. Naik dua langkah, tubuh kami merosot selangkah (seperti di Semeru saja). Berjalan lima langkah, berhenti, berjalan lagi, berhenti lagi. Berat sekali. tapi kami harus bisa menaklukkan tantangan ini untuk bisa menikmati puncak baru Merapi. Kakex melepas Sandal Eigernya dan hanya memakai kaos kaki, aku mengikutinya, dan ternyata lebih ringan, tapi kaki tyerasa membeku karena dinginnya pasir. Kami mencoba berbagai cara, sampai merangkak untuk berjalan lebih cepat. Tapi semuanya tetap saja menguras tenaga. Langit timur semakin indah saja dengan sunrise yang mulai tampak. Aku berhenti sejenak untuk mengabadikan keindahannya, sambil menikmatinya dalam-dalam dan menyimpannya di dalam ingatan.

 Indahnya Sunrise + Gunung Lawu

 Track'e Joss!!

 Nampang sek Kek...

Track Terjal Penuh Batu, Kerikil, dan Pasir

View-ne Mantep Poll..!!

 Track Tebing sebelum Puncak

  Track Tebing sebelum Puncak

          Kami terus mencoba, meski sering berhenti, tapi posisi kami semakin tinggi. Rombongan Gabungan sudah terlihat menyusul melalui track batu dan kerikil sebelah kanan kami. Kami semakin bersemangat, melangkah dan terus melangkah. Akhirnya track pasir terlewati, lalu track kerikil yang labil harus kami lewati untuk mencapai tebing-tebing sebelum puncak. tebing-tebing ini ternyata belum membeku sepenuhnya, masih rapuh. Kami memanjatnya, menyebrangi ceruk, lalu memanjat tebing dan belangkah di antara batu-batu dan asap belerang yang cukup menyengat. Dan akhirnya..
Puncak Merapi Baru (sekitar 2850 mdpl)
8 Juli 2011, 06.15
Allahuakbar!! Alhamdulillah hari ini kami bisa menggapai puncak Merapi lagi, ini yang kelima kalinya bagiku. Tiga orang dari rombongan gabungan juga telah sampai di puncak. subhanallah..betapa indahnya puncak ini setelah perjuangan berat yang kami jalani. Puncak Merapi Pasca Erupsi adalah Bibir kawah merapi, berada di tempat yang dulu adalah bibir kawah Mati. Puncak merapi yang dulu mungkin gugur atau longsor akibat erupsi dahsyat Merapi Oktober tahun lalu.

 Puncak, Bro..!!

Kawah Mati + Kawah Aktif
          Segera kami mengabadikan moment-moment di Puncak Baru ini, ngobrol-ngobrol, dan harus berhati-hati dalam berdiri dan melangkah karena kawah Mati terhampar 300 meter di bawah sana. kawah baru yang masih aktifpun terlihat, tak terlalu besar memang. Celah besar yang mengarah ke Jogja terlihat jelas dari pincak ini. Di sisi Barat kami memang ada tebing yang lebih tinggi, tapi kami tak mau mengambil resiko untuk memanjatnya, di sini sudah cukup. 15 menit kemudian, kami memutuskan untuk turun dari puncak ini, ingin lebih lama, tapi cukup ngeri juga berlama-lama di gunung yang statusnya masih Waspada. Sebelum turun, aku mengambil pasir puncak pendakian ini dan kumasukkan ke dalam botol air mineral. Untuk Koleksi poribadi, hehe..lalu  Aku dan kakex mampir dulu untuk foto di Karang sebelah timur, yang kusebut Puncak Kura-kura karena bentuknya seperti kura-kura (menurutku...). seperti apa menurutmu?? hehe..

 PMTG adventure on the Summit of Merapi Pasca-eruption
8 Juli 2011, 6.15 am

 PMTG adventure with BTSPALA

 Kakex di Puncak Kura-kura

 Arie di Puncak Kura-kura

          Perjalanan turun cukup mudah dan menyenangkan. track pasir dari puncak kami lewati dengan merosot, seperti anak TK. Tapi lebih cepat dan aman. Track selanjutnya, track batu dan tebing, aku kembali harus berjalan sampai  di track pasir. Sampai di track pasir lagi, kulihat Kakex tengah berlari di track pasir itu menuju Pasar Bubrah. kelihatannya menyenangkan, akupun mencobanya, dan memang sangat menyenangkan sekali dan sangat cepat sekali. Ini pertama kalinya turun dari puncak merapi dengan berlari, dan hanya perlu waktu 15 menit untuk sampai Pasar Bubrah. Mantabs!! Dan akibatnya, semua yang kukenakan ,Celana putih dan jaket Hitami-merah Rei, serta tas kuliah, Kotor dan terlihat "mbluthuk" terkena debu dan tanah. Inilah petualangan...
            Sampai di Pasar Bubrah, kami ngobrol-ngobrol dengan rombongan Gabungan, memberi alamat FB, lalu pamit untuk turun duluan karena kami dikejar target. Kami berjalan menaiki memoriam, dan berhenti sejenak untuk makan cemilan, minum, dan foto-foto sambil menikmati lukisan Tuhan yang sangat indah. Gunung Merbabu terlihat gagah di depan sana, sementara di kejauhan  sebelah barat terlihat jelas gunung sumbing, sindoro, Dieng dan Slamet, dan Lawu di sebelah Timur. cuaca memang sedang sangat bersahabat dengan kami.
 Puing-puing Memoriam Monument

 A view from Memoriam Monuments

Dari Memoriam Monument ke Puncak Merapi

 Kakex : Menikmati Ketinggian

 Pasar Bubrah at Presents

 Kae Merbabu Maz..

          Pukul 7.00 kami menuruni Memoriam melalui Jembatan Setan yang mirip satu track di gunung Gede. di track ini kami tak bisa lagi berlari karena track berupa kerikil yang licin dan di kanan kiri menganga jurang-jurang yang cukup dalam. Melewati Watu Gajah, lalu sampai di pertemuan Jalur Lumut dengan Jalur Utama. Kami memilih jalur Lumut (Lagi), 55 menit kemudian kami sampai di jalur utama lagi, lalu berjalan terus hingga Pos I. di Pos I kami bertemu dengan pasutri penduduk  etempat yang sedang istirahat karena kelelahan mencari Rumput untuk ternak mereka. (Gila..nyari rumput saja samapi setinggi itu..gak kebayang capeknya..). sedikit ngobrol-ngobrol, Kakex menawari air minum untuk mereka karena meraka tak membawa bekal.  Kebetulan kami surplus air. Satu Makna yang kami dapatkan dari mendaki gunung hari ini, "Ada kesenangan tersendiri dapat berbagi dengan orang lain yang sedang kesusahan". Kami kemudian berhenti untuk makan Lele+lalapan+sambel tanpa nasi. Kata Kakex, "Koyo bule wae.. bedane nek bule mangan steak." Dasar Kakex..
 Di atas Jalur Lumut

          Pukul 8.05 kami meninggalkan Pos I, kembali melewati jalur yang licin dan berdebu. beberapa kali aku terpeleset dan terjatuh. Sepertinya sandalku mulai tak SNI lagi. Setelah berjalan dengan jatuh-bangun di etape hutan, kami sampai di "Sumur", kemudian kami memilih jalur kiri (jalur lama) yang tidak terlalu licin dan lebih mudah meski agak memutar. Aku mengikuti jalur di mana aku, Ririt, dan Ian tersesat tempo hari. Bukan tersesat ding, tapi variasi jalur lain. hehehe.. Pukul 8.45 kami sampai di New Selo yang tak seramai hari Minggu lalu, hari ini tak kutemui muda-mudi yang berduaan di ladang, ataupun di New Selo, hanya ada beberapa anggota rombongan gabungan yang tak ikut mendaki sedang asik foto-foto di baliho NEW SELO. Aku dan Kakex terus berjalan sampai basecamp. target terpenuhi, Kami sampai di basecamp 3 menit sebelum jam 9. Setelah istirahat sebentar, kami kemudian meninggalkan basecamp tanpa membersihkan diri lebih dahulu. "Ben kethok le Nggembell." Kata Kakex sambil melaju di atas motornya, menjauhi Merapi,  (dan sekali lagi) kembali ke peradaban...
          Ini merupakan pendakian yang sangat menyenangkan dan sangat berkesan, bisa menggapai Puncak Merapi pasca erupsi dan mengibarkan Kaos PMTG adventure di atasnya..

Spesial thanks to Taufiq Bayu Pamungkas a.k.a Kakex telah menemaniku di Expedisi Dadakan (Saluuuttttttt) ini..Terima kasih atas tebengannya, Lele gorengnya, cemilannya, dan okky Jelly Drink-nya..
Kita telah menggapai Puncaknya, Kawan...
See you on the next mountaineering..

Untuk kawan-kawan crew PMTG adventure,,
maaf tidak ngajak-ngajak,,bukan bermaksud tidak setia kawan..karena ini benar-benar dadakan alias tidak direncanakan sebelumnya..
Hany berwal dari pertemuan di jalan sepulang dari Jogja....
hehehe...

Tetap semangat, masih banyak gunung yang bisa kita daki bersama...
PMTG (tetep) SAKLAWASE....

**Lihat Juga :
Pendakian Sindoro : My First Mountaineering
Pendakian Slamet via Guci : Sebuah Perjalana yang Bermakna
Pendakian Sumbing : Menggapai Puncak 3371

Kamis, 07 Juli 2011

REINHOLD MESSNER : Real Mountaineer

           Namanya memang tidak tampak Italiano, sehingga banyak orang mengira dirinya berasal dari Austria atau Jerman, tetapi Reinhold Messner ternyata adalah seorang Italiano sejati, dia lahir pada tanggal 17 September 1944, di sebuah desa yang dikelilingi pegunungan Dolomite, Tyrol, Italia Utara. Ayahnya Joseph Messner adalah seorang kepala sekolah di desa Vilnes yang terletak pada sebuah lembah di kawasan Tyrol, Italia Selatan. Mereka merupakan keluarga sederhana, sebagaimana penduduk lain di daerah mereka yang kebanyakan hidup sebagai petani dengan berbagai aneka khas kesederhanaan masyarakat desa. Tetapi ayah Reinhold Messner adalah seorang idealis, menurutnya kesederhanaan bukan berarti penghalang untuk menikmati hidup, dan mendaki gunung merupakan sarana bagi keluarga Messner untuk menikmati hidup, dimana setiap ada waktu, terutama pada saat libur sekolah, keluarga Messner menyempatkan diri untuk mendaki gunung.
           Sejak kecil Reinhold Messner memang telah dididik dan diperkenalkan secara mendalam dengan jalanan terjal dan tebing-tebing tinggi pegunungan. Pada usia lima tahun, bersama adiknya yang bernama Gunther, Messner telah diajak mendaki oleh ayahnya di daerah Saas Rigais, sebuah daerah pegunungan di Alpen. Sebagaimana karakterisitik pegunugan Alpen yang harus didaki dengan banyak menggunakan teknik rock climbing, maka dapat dibayangkan jari-jari mungil Messner kecil sejak dini telah memegang batu-batu cadas pegunungan dan badannya telah merasakan bergelantungan di atas tebing yang tingginya ratusan meter. Di usia dininya itu Reinhold memang telah diasah untuk mengendalikan adrenalin dan mengelola rasa takutnya.
Semua pendaki mengetahui bahwa Reinhold Messner merupakan pendaki yang anti teori, "kegilaannya" ini telah dimulai sejak usia 14 tahun, saat dirinya menjajal Castiglioni Route yang dikenal sulit, tanpa menggunakan peralatan panjat, bahkan tidak menggunakan tali pengaman, artinya dirinya melakukan free soloing dalam mendaki rute yang terletak di Kleine-Ferda ini dan "kegilaannya" membuahkan hasil manis, saat dirinya berhasil mencapai puncak di rute ini. Keberhasilan Messner melewati rute sulit ini telah membuktikan pada dirinya bahwa dia bisa mengatasi rasa takutnya dan menumbuhkan kepercayaan diri yang semakin tinggi.
           Ketika masa usia sekolah telah dilaluinya dan Reinhold terdaftar sebagai mahasiswa jurusan arsitektur di Universitas Padua, hobinya untuk mendaki gunung tetap menggelora di dadanya, meskipun beban kuliah yang berat dengan tugas-tugas gambarnya dan ketiadaan gunung di kota kecil tempat tinggalnya. Kerinduan akan pendakian diaktualisasikannya dengan rajin memanjat bukit kapur di luar kota yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya.
           Sekitar tahun 1970an, Reinhold meninggalkan profesinya sebagai seorang guru, bersama adiknya ia mulai mengukir sejarah dengan memulai ekspedisi menziarahi puncak-puncak 14 tertinggi di dunia. Dimulai dengan pendakian Nanga-Parbat (8.125 m) melalui sisi Rupal Pakistan yang merupakan rute tersulit di puncak itu. Keduanya berhasil mencapai atap Nanga Parbat, tetapi malang, dalam menuruni puncak ini, Gunther Messner, sang adik, tersapu longsoran salju saat badai salju menyerang mereka. Kejadian ini sangat memukul Reinhold, sehingga membuatnya cukup trauma setelah kejadian itu. Tetapi keinginannya mencetak sejarah dengan menggapai puncak-puncak 14 membuat dirinya terpanggil untuk kembali melakukan pendakian.
           Tahun 1972, Reinhold mendaki puncak Manaslu (8.163 m) lewat jalur Nepal dan di tahun ini pula dia tertantang untuk mendaki Cho Oyu (8.201 m), kemudian pada tahun 1974, puncak Makalu (8.462 m) berhasil digapainya. Pada akhirnya mekkah-nya para pendaki yang merupakan impian para petualang sejati, puncak Everest (8.848 m), berhasil diziarahinya pada tanggal 8 Mei 1978 dengan jalur south-east ridge, sebuah jalur yang paling banyak diserbu para pendaki Everest, bersama tim Australia dibawah pimpinan Wolfgang Nairz, yang mengundangnya sebagai salah satu staf ahli ekspedisi. Tetapi berbeda dengan para pendaki tim ini yang menggunakan tabung oksigen sebagai salah satu safety equipment, Reinhold Messner menciptakan sensasi bersama rekannya Peter Habeler dengan menolak menggunakannya dan bersikeras mereka akan tetap berhasil mencapai puncak Everest tanpa bantuan oksigen, dan memang terbukti.
           Puncak tertinggi kedua di dunia, K2, atau sering pula disebut sebagai puncak Godwin-Austen (8.611 m) berhasil diziarahinya pada tahun 1979. Puncak Shisapangma (8.047 m) di Tibet berhasil digapainya pada tahun 1981 dan tahun 1982, dia mendaki Broad Peak (8.047 m), diteruskan dengan mendaki Gasherbaum II (8.035 m) dan Kanchengjunga (8.586 m). Gasherbaum I (8.068 m ) juga dapat didakinya pada tahun 1984, menyusul kemudian Annapurna (8.091 m) dan Dhaulagiri (8.167 m) di Nepal. Dan akhirnya seluruh puncak 14 berhasil didakinya saat Reinhold Messner menjejakkan kakinya di puncak Lhotse (8.586 m) pada tanggal 16 Oktober 1986, hanya 20 hari setelah dia kembali dari puncak Makalu yang kedua kalinya dan menjadikannya sebagai satu-satunya pendaki yang berhasil mendaki seluruh puncak-puncak tertinggi di dunia (puncak 14).
Prestasi Reinhold Messner lainnya
           Sebagaimana dikenal dunia, Reinhold Messner merupakan pendaki yang anti-teori, dia melakukan pendakian di pegunungan yang tingginya di atas 6.000 m dengan menerapkan Alpine Tactic dan menganggap bahwa aklimatisasi tidak perlu dilakukan lama, cukup melakukan sekali pendakian dan apabila tiba di base terakhir langsung melakukan summit attack. Dia juga mengesampingkan VO2 Max seseorang dalam mempengaruhi pendakian. Semua ini dibuktikan dengan digapainya puncak Everest seorang diri tanpa sherpa dan dengan mempergunakan teknik pendakian Alpine Tactic serta tanpa bantuan tabung oksigen di zona kematian (death zone) pada tanggal 20 Agusus 1980, yang merupakan pendakian keduanya tanpa oksigen di Everest. Satu hal yang lebih mengagumkan lagi sekaligus mengharumkan namanya, dalam pendakian kedua kalinya ke Everest ini, Reihold menciptakan jalur baru yang merupakan jalur kedelapan dalam upayanya menziarahi Everest, yaitu dari jalur utama North Col melalui North Face dan akhirnya summit attack melewati Norton Couloir.

Penutup
           Jika Alexander III dari Macedonia digelari Alexander Agung karena keberhasilannya mengalahkan begitu banyak bangsa, dan terkadang dilakukan dengan melakukan ekspedisi besar yang tak masuk akal dan dapat dinilai sebagai ekspedisi gagal, seperti yang dilakukannya pada sekitar 327 SM, dimana dia memilih puncak Hindu Kush yang mempunyai ketinggian 5.500 m sebagai jalan untuk menyerbu India, atau melewati puncak-puncak pegunungan Alpen yang ganas dalam upayanya menaklukan Eropa, merupakan sebuah alternatif ekspedisi yang tidak memungkinkan dan tidak masuk akal, karena kedua daerah ini adalah daerah yang berbahaya dengan perbukitan terjal serta bersalju, ditambah udara dingin yang menyengat tulang, maka Reinhold Messner merupakan Syeikh-nya pendaki gunung dengan keberhasilannya sebagai satu-satunya orang yang telah 18 kali menggapai 14 puncak tertinggi di dunia, dengan cara-cara sulit dan tak masuk akal, yang sering disebut oleh para ahli sebagai ekspedisi bunuh diri.
           Tetapi pada dasarnya, kegemarannya mendaki gunung dilakukan karena Reinhold Messner memang mencintainya, sehingga berbagai puncak lain yang ada di dunia juga disambanginya, seperti : Cartensz Pyramid, Papua, yang didatanginya dua kali pada tahun 1971 atau gunung-gunung lain di belahan dunia lain yang ketinggiannya jauh berada di bawahnya (the Seven Summits). Hal ini merupakan satu learning point yang dapat dipetik bahwa kunci keberhasilan seorang penampil kekuatan terletak pada kecintaannya terhadap apa yang benar-benar ingin mereka kerjakan. Reinhold Messner yang dapat dikategorikan sebagai seorang penampil kekuatan, telah memilih takdirnya sebagai seorang pendaki, dia belajar untuk mencintai kegiatannya dan dia suka cita melakukannya, karena dengan sadar dia telah menetapkan pilihannya, sehingga dia tidak membiarkan orang lain memanipulasi atau merendahkan dirinya untuk menghentikan langkahnya dalam mewujudkan impiannya.
 

Selasa, 05 Juli 2011

KODE ETIK PECINTA ALAM INDONESIA

Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
Pecinta Alam Indonesia adalah bagian dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggung jawab kepada Tuhan, bangsa, dan tanah air
Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa pecinta alam adalah sebagian dari makhluk yang mencintai alam sebagai anugerah yang Mahakuasa
Sesuai dengan hakekat di atas, kami dengan kesadaran menyatakan :
  1. Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa
  2. Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber alam sesuai dengan kebutuhannya
  3. Mengabdi kepada bangsa dan tanah air
  4. Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar serta menghargai manusia dan kerabatnya
  5. Berusaha mempererat tali persaudaraan antara pecinta alam sesuai dengan azas pecinta alam
  6. Berusaha saling membantu serta menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, bangsa dan tanah air
  7. Selesai
Disyahkan bersama dalam
Gladian Nasional ke-4
Ujung Pandang, 1974