Sabtu, 18 Juni 2011

PENDAKIAN SLAMET VIA GUCI : Sebuah Perjalanan yang Bermakna

. . . . . . . . . . .
4 Juni 2011
           Udara pukul 05.15 pagi di Guci sangat dingin, tapi aku paksakan untuk bangun dan keluar dari Sleeping Bag-ku. Setelah shalat Subuh, kami semua packing semua barang-barang kami dan bersiap untuk mendaki Gunung tertinggi di Jawa Tengah, Gunung Slamet.
           Pukul 07.00 kami berkumpul di Terminal wisata Guci, ngobrol-ngobrol, foto-foto dan sarapan diiringi musik Dangdut Koplo. Satu jam kemudian kami mengikuti upacara pembukaan, dan banyak hal konyol yang terjadi. Kakex berkata, “gek pisan iki aku upacara ming nganggo kathok cendhak. Hahaha…” Memang, ini adalah upacara ‘terbebas’ yang pernah kami ikuti. Ngobrol-ngobrol, tidak pake seragam, topi, dasi, dll. Agus malah pake acara ngGendhong kucing bunting yang lewat di tempat upacara. Cen ra Mbois tenan!!





          Pukul 09.00 pendakian dimulai dan resmi diberangkatkan oleh panitia. Kami memilih untuk berjalan di belakang dan membiarkan peserta lain berjalan dulu. Perjalanan berjalan lambat, karena jumlah peserta yang sekitar 450 orang, sangat banyak untuk ukuran pendakian. Track pertama adalah jalan berbatu yang cukup lebar dengan rerumputan dan pohon pinus di kiri-kanan jalur. Namun jalur berubah menjadi jalan setapak, yang memang hanya cukup untuk satu tapak, beberapa ratus meter di bawah Pos I dengan vegetasi tambahan berupa tumbuhan dari genus Mimosa yang berbunga putih. pukul 10.13 kami sampai di Pos I, Pondok Pinus (1587 mdpl), masih sangat jauh dari puncak yang tungginya 3428 mdpl. Kami absen, istirahat sebentar, lalu melanjutkan perjalanan. Jalurnya masih sama, berupa jalan sempit dengan rerumputan di kanan-kirinya, namun vegetasinya semakin lebat dan benar-benar telah memasuki hutan. Tumbuhan-tunbuhan di hutan Gunung Slamet ini membentuk kanopi yang rapat, sehingga hanya sedikit cahaya matahari yang berhasil menerobos hingga dasar hutan. Dua jam kemudian kami sampai di Pos II, Pondok Cemara (1954 mdpl). Namun, karena di Pos II penuh dengan peserta yang istirahat, kami tidak berhenti di pos ini. Aku, Agus, Ririt, Ian, Endock Hanya absen, lalu berjalan lagi. Beberapa langkah melewati Pos II ada yang berteriak-teriak memanggil PMI, kami tidak begitu peduli dan tetap melangkahkan kaki menyusuri hutan Slamet yang semakin lebat. Pos II ke Pos III adalah track terpendek, hanya sekitar 45 menit. Lagi-lagi, di Pos III penuh dengan peserta yang duduk mengistirahatkan kaki, kami hanya absen dan melesat diantara pohon-pohon besar berlumut dan semak-semak setinggi bahu, meninggalkan Pondok Pasang (2129 mdpl). Badan terasa lelah, dan cacing di perut telah berontak minta diisi, namun tak ada tempat yang cukup luas untuk memasak makan siang. Akhirnya hanya bisa menahan lapar dengan 6 potong wafer. Di etape ini, kami paling sering dan paling lama istirahat. Ian, Agus, dan Endock menyalakan rokok mereka dan mulai menghisapnya. Di sini muncul kekonyolan lagi. Endock berkata bahwa dia merokok untuk membantu para petani tembakau agar tetap memiliki pekerjaan mereka, serta juga membantu Negara dengan cukai rokok yang merupakan pendapatan terbesar negara. Dasar perokok, ada saja alasannya. Setelah cukup kedinginan karena hanya berdiam diri, aku dan Ririt melanjutkan perjalanan, sementara mereka bertiga masih menikmati “racun” mereka.

     
Pos I - Pondok Pinus (1587 mdpl)






Ciebret

          Perut yang lapar membuat kami cepat letih, semakin sering berhenti, bahkan sampai tertidur di pinggir jalur pendakian sambil menunggu Ian, Agus Endock, Kakex, Gareng, Kondex dan Agus Brahma. Beberapa saat kemudian, Ian dan agus muncul dan malah ikut tidur di samping kami, beberapa menit kemudian Endock datang dan ikut tidur juga. Ririt, Agus, dan Ian kemudian melanjutkan langkah menuju Pos IV, namun aku dan Endock tak beranjak, baru sekitar 15 menit kemudian bangkit dan berjalan lagi. Di tengah perjalanan sempat berhenti lagi, Endock sampai tidur lagi. Hungry Effect!
           Akhirnya aku dan Endock baru sampai di Pos IV pukul 16.00, dan langsung menghampiri Ririt, Ian dan Agus yang tengah makan mie instan mentah. Isrirahat, ngobrol-ngonrol, dan makan mie mentah. Kalau ditotal, istirahat kami dari Pos III sampai Pos IV hampir 1 jam. Udara dingin membuat kami ingin terus bergerak dan ingin cepat sampai Pos V, tempat nge-camp. Akhirnya kami meninggalkan Pondok Kemutus (2587 mdpl) setelah absen pada panitia. Setengah jam kemudian kami istirahat di dekat mata air untuk shalat Dzuhur+Ashar. Tak berapa lama kemudian Agus Brahma datang bersama Kondex, Gareng, dan Kakex. Di situ baru kami tahu bahwa yang berteriak minta tolong PMI di Pos II adalah untuk menolong Kakex yang keram di kedua kakinya. Perjuangannya untuk berjalan sampai di sini pastilah sangat berat. Sorry Kex, Ra ngerti je…
Ada cerita lucu, saat kakex keram, ada yang berlari kearahnya bermaksud menolongnya, tetapi saat dia (yang mau nolong) sampai di depan Kakex, dia malah berteriak-teriak bahwa kakinya keram, kedua-duanya. Akhirnya PMI yang tadinya di panggil untuk menolong Kakex malah terus menolong dia (yang tadinya mau nolong Kakex). Seperti ironi di atas ironi…
Pukul 17.30 kami meneruskan langkah setelah Agus Brahma mengambil 3 liter air di mata air yang sangat curam jalannya. Hari mulai gelap, Gunung Cireme pun terlihat diantara cahaya orange di arah barat. Sunset. 20 menit kemudian kami sampai di Pondok Edlweiss, di sana ada panitia yang mengatakan bahwa camp utama di Pos V sudah penuh, jadi kami putuskan untuk mendirikan dome di Pondok Edlweiss ini bersama beberapa rombongan lain.
Setelah mendirikan 2 dome kembar siam berhadapan, kami shalat Maghrib plus Isya’, lalu mulai masak untuk makan malam kami. Nasi, Sayur tempe-buncis, orak-arik telur-mie, tempe goreng, gereh (ikan asin) dan kopi menjadi pengisi perut malam yang cerah dengan Jutaan bint*ng yang bertaburan di langit Tegal. Setelah beres-beres, kami segera tidur. Kakex, Ian, Agus dan Gareng di dome WeJe; Aku, Ririt, Endock dan Agus Brahma di dome satunya; sementara Kondex tidur di teras luar, diantara 2 dome. Udara dingin Bulan Juni ternyata masih bisa menembus lapisan Sleeping Bag dan Jacketku. Berkali-kali aku terbangun karena dingin, lalu tidur lagi. Terbangun lagi karena suara Nokia Tone, Nada Inbox-ku, lalu tidur lagi…

5 Juni 2011
Aku terbangun saat mendengar teriakan para pendaki lain, yang juga nge-camp di pondok Edlweiss, yang akan bersiap untuk Summit Attack sesuai jadwal Panitia. Tapi aku dan teman-temanku tetap tidur, karena kami memutuskan untuk ke puncak saat hari sudah terang. Alasannya?? Pertama, apa sih yang akan kita lihat jika kita berangkat ke puncak jam 02.00 pagi?. Gelap dan juga dingin. Tanpa pemandangan alam yang indah, tapi yang ada malah pemandangan 450-an orang yang mengantri untuk menyusuri pasir dan batu-batu di track ke puncak Slamet. Kedua, Ririt juga tidak berani berjalan di kegelapan tanpa kacamatanya, dan kebetulan saat itu dia tidak membawa kacamatanya. Ya, demi keindahan dan kesetiakawanan kami tidur lagi. (hahaha)
Pukul 05.00 aku bangun. Udara di ketinggian ±2600 mdpl itu masih dingin, meski tak sedingin saat ku terjaga malam tadi. Setelah tubuh mulai teraklimatisasi, aku segera keluar dome untuk shalat Subuh. Begitu juga yang lainnya, kecuali Ririt dan Agus Brahma yang masih terbungkus SB.
Setelah semua bangun, kami sarapan dengan nasi, sayur, dan mie yang memang telah kami siapkan semalam. Kami tidak membuat kopi atau teh panas, karena persediaan air kami menipis, jadi kami harus berhemat. Setelah packing selesai, kami berdoa lalu mulai berjalan lagi Pukul 07.30 untuk melanjutkan sisa perjalanan menuju puncak tertinggi di Jawa Tengah ini. Tapi pagi ini kami hanya berdelapan, tanpa Kakex yang memutuskan untuk tinggal di camp karena kondisi tubuhnya tidak fit pasca-accident di Butuh 3 hari lalu.
Perjalanan lebih mudah karena kami hanya membawa 1 carrier dan 1 daypack yang berisi 3 liter air, roti tawar, susu, 1 Misting, 1 liter methanol dan SB serta mantol untuk jaga-jaga. Track dari Pondok Edlweiss langsung nanjak abizz, hampir tidak ada ‘bonus’. Vegetasi masih cukup lebat dan masih didominasi pohon-pohon tinggi. Dua puluh menit kemudian kami sampai di Pos V, Camp utama peserta PenMas. Banyak sekali dome yang berdiri di sini, dan memang sudah tidak ada tempat lagi untuk membuat camp baru. Banyak para pendaki yang sudah turun memandangi kami dengan tatapan aneh, mungkin mereka bertanya-tanya dalam hati mereka, “Yah mene kok gek munggah??”. Tapi aku tak peduli, aku terus berjalan naik di tengah ‘perkampungan’ ini. Setelah beristirahat sebentar di depan tenda PMI, kami melanjutkan pendakian melewati perkampungan, menghabiskan hutan, lalu terlihatlah hamparan batu dan pasir yang megah di depan mata. Dari sinilah summit attack yang sebenarnya dimulai.
Kami mulai menapaki batu-batu dan karang-karang yang kami anggap stabil. Track ini mengingatkanku pada track Merapi setelah Pasar Bubrah, tapi ini sedikit lebih parah, dan jauh lebih panjang. Dari yang kubaca selama ini, mungkin track Semeru setelah Arcopodo juga seperti ini. Anggap saja latihan sebelum Ekspedisi Semeru yang entah kapan terlaksananya. Kembali ke Slamet, di sepertiga perjalanan kami bertemu dengan Tim SAR, lalu panitia PenMas, yang mengatakan hal yang kurang lebih sama, “Kok baru naik? Udah pada turun lho. Sebentar lagi akan dilakukan penyisiran oleh Tim SAR dan Panitia agar semua peserta yang masih di puncak turun karena dikhawatirkan akan adanya gas belerang yang mungkin berbahaya.” Begitu kira-kira yang mereka katakan, tapi aku tetap bertekad untuk lanjut. Aku terus melangkah, melewati para pendaki yang sedang turun, atau yang sekedar berhenti untuk foto-foto dengan background Gunung Cireme. Aku tak peduli apa yang mereka katakan, atau sekedar mereka pikirkan. Yang kupikirkan sekarang adalah terus berjalan, hingga puncak yang mungkin tinggal 1 jam Lagi. Kami tak lagi berjalan bersama, karena menurutku semakin banyak berhenti maka akan semakin kecil kemungkinan untuk bisa (boleh) terus mendaki sampai puncak. Ian dan Agus yang sejak awal berada di belakangku kini terlihat jauh, Begitu juga Endock, Ririt, Gareng, Agus Brahma dan Kondek.
Di bawah track pasir sekitar 30 menit dari puncak aku bertemu lagi dengan 2 Panitia PenMas, yang 1 sudah cukup hafal karena sering bertemu di perjalanan Guci – Pondok Edlweiss. Mereka berkata bahwa semua peserta sudah turun, dan tambang pengaman pun sudah mulai dilepas. Ya, memang tak kulihat lagi peserta lain selain 1 panitia berseragam Galas yang sedang melepas tambang pengaman. Tapi aku “ngeyel”, minta izin untuk tetap lanjut karena memang nganggung banget!! Jauh-jauh naik motor dari Jogja, pake kecelakaan lagi, ditambah dengan perjalanan sampai pondok Edlweiss yang melelahkan, masa tidak boleh naik sampai puncak yang tinggal 30 menit ini. Tapi akhirnya mereka mengizinkan karena aku tetap bersikeras dalam nego dengan panitia itu. Thanks!!
Kubulatkan tekad, kulangkahkan kaki mendaki tanjakan pasir yang benar-benar hanya pasir, dan labil. Setiap melangkah, pijakan akan merosot beberapa senti, dan begitu seterusnya sampai akhir tanjakan pasir ini. Track selanjutnya adalah pasir campur kerikil yang licin, di sinilah tambang pengaman tadinya dipasang. Aku mencoba mencari pijakan yang nyaman dan aman, tapi sulit karena kontur tanahnya yang tak beraturan. Memang jalur cukup luas, kanan kiri tidak langsung jurang, tapi kalau sampai jatuh maka bisa terguling sampai jurang. Disini aku sampai harus merangkak, menggunakan tanganku juga untuk berjalan, agar lebih ringan dan lebih aman. Kaki yang lelah tetap ku kayuh untuk menyelesaikan track ini, karena puncak semakin dekat.
Akhirnya track licin ini terlewati, selanjutnya aku harus melewati track pasir lagi untuk mencapai puncak. Masalah. Kerongkonganku mulai kering, sementara aku tidak membawa air, sedikitpun tidak. Aku hanya membawa 4 Coki-coki, 1 batang coklat murahan, dan beberapa bungkus wafer Superman. Aku berhenti sejenak, membuka coklat, memakannya, lalu mulai melangkahkan kaki di jalur pasir ini. Track terakhir ini benar-benar berat, 5 langkah berhenti, melangkah lagi, berhenti lagi, berjalan, merangkak lagi, berhenti. Kulihat ada beberapa orang yang sedang berfoto-foto di puncak. ternyata memang sudah dekat, tapi kakiku benar-benar lelah, “ngethuk poll!!”. Tapi aku teringat lagi akan perjuanganku untuk sampai ke tempat ini. Banyak yang telah kami korbankan untuk mengikuti PenMas ini. Kakex, ririt, Ian dan agus yang sampai harus lecet-lecet, motor Ririt yang harus pecah kaca lampunya, dan juga lecet-lecet di sekujur body-nya seperti juga motor Kakex. Jadi kupikir, mungkin akan sedikit lebih bermakna jika ada yang sampai puncak mewakili bendera-bendera mereka, PMTG adventure, Mapadegama, dan Brahmahardhika.
“…yang kita butuhkan sekarang hanya kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan mulut yang akan selalu berdoa…”
Quote dalam 5 cm.-nya Donny Dhirgantoro itu terngiang lagi. Ya..puncak itu tinggal 5 cm. di depanku. Aku kembali melangkah sekuat tenaga, meski kadang berhenti, lalu melangkah lagi. Semakin dekat, semakin berat. Dan akhirnya…

PUNCAK SLAMET (±3410 mdpl) 5 Juni 2011, 09.10 WIB

Alhamdulillah!! Aku langsung bersujud sambil terus bersyukur aku bisa mencapai puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah ini. Para pendaki yang tadi kulihat dari track kemudian menyalamiku dan memberi selamat kepadaku. Mereka dari Mapakti (Mapala Universitas Pancasakti, Tegal) yang naik gunung sendiri, tidak ikut PenMas. Rasa lelah dan haus hilang begitu saja oleh euphoria puncak. Seperti biasanya, aku masih saja takjub menikmati keindahan alam dari ketinggian. Gunung Cireme masih terlihat diantas gumpalan awan. Jalur yang kulalui ternyata sangat “extreme” jika dilihat dari atas. Kawah Timbang di sisi timur Puncak Slamet tak berhenti mengepulkan asap putih. Akupun memberanikan diri untuk “meminta” 1 jepret foto dari mereka sebagai kenang-kenangan. Tidak hanya sekali, bahkan Putra (yang punya kamera) memotretku beberapa kali. Memang, keramahan dan kebaikan para pendaki gunung patut diacungi jempol. Mereka mau berbagi foto, bahkan berbagi kopi pada orang yang baru dikenalnya beberapa menit saja. Sebelum turun, seperti kebiasaan baruku, aku mengambil pasir dan kerikil di tanah tertinggi ini dan memasukkannya ke dalam botol air mineral yang ku temukan di jalur saat merangkak ke puncak. Suatu saat, mungkin pasir dan kerikil itu akan membuatku tersenyum jika melihatnya.

PMTG adventure and BIO_EDC'09 on the summit of Mt. Slamet




with MAPAKTI

with MAPAKTI
Aku kemudian turun setelah cukup menikmati ketinggian ini. Memang hanya sekitar 10 menit, tapi sangat bermakna setelah semua perjuangan yang telah kulalui bersama teman-temanku. Mungkin mereka belum mengetahui kalau aku berhasil mencapai puncak. Aku berharap hal ini benar-benar bisa membuat mereka sedikit tersenyum diantara rasa dongkol dan lelah mereka. Setelah melambaikan tanganku pada Kawah Timbang yang masih mengepulkan asap putih, aku melangkahkan kakiku meninggalkan puncak tertinggiku ini. Perjalanan turun memang lebih ringan di track pasir, tapi lebih sulit pada track kerikil dan batu, karena jalurnya cukup curam dan juga licin. Tapi secara keseluruhan, turun memang lebih cepat dari pada naik, meski motivasi tak sebesar saat summit attack.
Beberapa menit kemudian, aku melihat 2 temanku, Ian dan Agus yang berhenti di pertengahan jalur puncak. Aku segera menghampiri mereka, yang ternyata masih bersemangat untuk mendaki hingga puncak. Memang sayang sekali jika harus berhenti sampai di situ saja, karena puncak memang tinggal sebentar lagi. Dan kondisi puncakpun aman-aman saja, tak seperti yang dikhawatirkan para panitia. Pertempuran hati pasti tengah berkecamuk di diri mereka masing-masing. Saking dilemanya, Agus sampai menghitung kancing untuk mengambil keputusan. (Padahal jaketnya tidak berkancing. Hahaha.. Gembell!!). setelah meminta beberapa jepret foto dari kamera Agus, aku kemudian turun ke tempat Ririt, Endock, Agus Brahma dan Gareng berhenti. Mereka berembuk juga. Ternyata mereka juga dilema, antara kemauan dan semangat untuk lanjut atau turun dan melepaskan kesempatan ini. Dan akhirnya, diputuskan untuk turun ke camp. Ya, aku kira ini keputusan yang bijak, karena jika memaksakan untuk terus naik, mungkin akan menimbulkan sedikit masalah dengan panitia. Aku kemudian memberi tanda pada Ian dan Agus untuk turun. Setelah kami semua berkumpul, kecuali Kondex yang turun lebih dulu, kami segera menuruni jalan terjal berbatu ini.
Kami berharap perkampungan telah sepi dan semua peserta telah turun saat kami lewat, tapi ternyata tidak. Masih banyak dome peserta yang masih berdiri, camp panitia pun masih ada. Kami hanya lewat dengan sedikit basa-basi jika bertemu peserta atau panitia. Mood ramah kami seperti hilang. Kami terus berjalan turun, kadang berlari, menuruni jalur yang tadi pagi kami lewati.
Setengah jam kemudian, kami sampai di Pondok Edlweiss, camp-camp yang tadi pagi masih berdiri kini sudah tak ada. Tapi Alhamdulillah, Kakex yang kami tinggalkan tadi pagi masih utuh tanpa kurang satu apapun. Kamipun bergegas membongkar dome, packing, lalu turun menuju basecamp Guci tanpa makan siang. Untuk mengganjal perut kami yang sudah saatnya diisi, kami hanya makan roti tawar plus susu coklat. Persediaan air yang limited kami bagi untuk persediaan individu, aku di beri Agus Brahma yang mempunyai persediaan air di daypack-nya. (Thankz Bro..)
Sekitar pukul 10.30 kami meninggalkan camp kami di Pondok Edlweiss, perjalanan kami masih jauh. Kaki mulai terasa hilang “sekrupnya”, sedikit bergetar, tapi mau tidak mau aku harus tetus berjalan sampai Guci. Aku berjalan paling belakang diantara rombongan Jogja-Solo ini (padahal yang asli Jogja Cuma Agus, dan tidak ada yang asli Solo). Ririt, Kondex, Agus Brahma dan Gareng langsung tancap gas, sebentar saja mereka tak lagi terlihat. Melesat diantara lebatnya hutan Gunung Slamet. seperti saat naik, kadang masih antri dengan peserta lain karena masih ada beberapa yang belum turun. Hingga Pos IV, kami (Aku, Endock, Ian, Kakex, agus) masih berjalan beriringan, tapi selepas Pos IV Endock, Ian, dan Agus mulai berlari dan meninggalkan Aku dan Kakex. Aku dan Kakex memutuskan untuk berjalan pelan, dengan sedikit berlari. Di sepanjang perjalanan kami ngobrol seadanya, dan ternyata dia baru tahu kalau aku berhasil mencapai Puncak. Puncak ini (juga) untukmu Kawan...
Perjalanan kami cukup stabil, hanya berhenti sesekali saja. Kami benar-benar istirahat di Pos III, kami berhenti dan duduk bersama peserta lain, itupun hanya sebentar. Lalu kami melanjutkan perjalanan yang kami targetkan Jam 03.00 sudah sampai di basecamp Guci. Di tengah perjalanan, aku terpaksa menerobos ke semak-semak di pinggir jalan setapak karena sudah tidak tahan lagi. Untung tidak ada yang lewat. Banyak sekali air kencingku, kalau dihitung-hitung mungkin ada 1 liter. Hahaha.. Lanjut... Di shelter antara Pos III dan Pos II aku berhenti, menunggu Kakex yang sudah sangat kebelet sekali dan harus gali lobang di antara semak-semak. “Leganya..” Kata Kakex setelah tutup lobang…
Di Pos I kami bertemu Kondex yang sudah bersiap untuk turun, tapi niatnya diurungkan. Kami berhenti sejenak untuk istirahat dan makan agar-agar yang tadi pagi dibuat Kakex. Lalu kami turun sambil ngobrol-ngobrol di sisa perjalanan ini. Track berbatu di bawah Pos I membuat langkah kami melambat. Kami sampai di check point pada pukul 03.10, dan langsung menghampiri Ririt dkk yang telah sampai lebih dulu. Setelah makan nasi bungkus dari panitia, aku kemudian shalat Ashar bersama Kakex. Sekitar pukul 4.30 bersama rombongan Jogja-Solo (kecuali Kondex dan Agus Brahma), aku menuju tempat pemandian air panas, tepatnya Pancuran 5. Nikmat sekali rasanya, berendam air panas alam saat badan pegal-pegal setelah naik gunung. Mantabs!!
Satu jam kemudian, kami menyudahi acar berendam yang menyenangkan ini dan langsung menuju masjid untuk shalat Maghrib. Setelah shalat, kami bersembilan melesat meninggalkan Taman wisata Air Panas Guci dan menuju rumah Mas Jack, Bumijawa. Rencananya di Bumijawa hanya sebentar, sekedar memenuhi janji untuk mampir lagi saat turun, namun kenyataannya kami baru pamit pada pukul 9.30 malam. Aku, Endock, Ian, Kakex, agus dan Ririt langsung meluncur ke Cilacap melalui jalur alternatif Bumijawa-Linggapura, sedangkan gareng, Kondex, dan Agus Brahma ke tempat teman mereka di Kota Tegal. Seperti yang dikatakan Maz Jack, jalannya memang cukup rusak, berlobang, naik-turun dan sepi karena melewati “mBulak”, tapi memang 1 jam lebih cepat dibandingkan melalui Banjaranyar. Sekitar pukul 11.30, kami berhenti di pinggir jalan daerah Ajibarang karena Agus rada ngantuk. Semuanya tidur, kecuali aku dan endock, di kursi-kursi dan meja yang ada di sana. Ririt terbangun mendengar “nyanyian” Agus, lalu kami ngobrol tentang rencana ke Mahameru dan Argopuro..


6 Juni 2011
Pukul 12.30 kami berangkat lagi, dan berhenti lagi selama 25 menit di Alfamart di Kota Ajibarang untuk membeli minum dan permen, ngobrol-ngobrol, ketawa-ketawa di pinggir jalan. Cen ngGembel tenan!! Lanjut… dan satu jam kemudian, tepatnya Pukul 02.09 Senin dini hari, kami sampai di rumah Endock di Cilacap. Setelah shalat Isya’, kami berenam langsung tidur..sampai pagi…
. . . . . . . . . . . . .

3 komentar:

  1. BACA CERITA INI MARAI KANGEN,
    SLAMET...
    I'LL BE BACK SOON,MAYBE..
    THE DAY AFTER TOMORROW,
    HIHIHI

    BalasHapus
  2. ayo...liburan iki piye???
    sekitar 25 Agustus????

    BalasHapus