Rabu, 12 September 2012

MENEMBUS DEBU MERAPI


Sebuah Catatan Perjalanan Pendakian Merapi #13, 24-25 Agustus 2012
Sudah 5 bulan aku tak mengunjungi Merapi setelah pendakian bersama teman-teman eLKaPe bulan april lalu. Hari ini kembali ku injakkan kakiku di pasir merapi, bergelut dengan debu-debu etape ladang dan hutan, menepis kerasnya angin dingin malam musim kemarau, serta melawan dinginnya tidur tanpa tenda dome di atas ketinggian 2700 mdpl. Bersama 3 teman crew PMTG adventure kuhadapi semua itu, Kakex C-001-PMTG, Ian C-004-PMTG, dan Ardy C-043-PMTG. Dan aku sendiri Arie C-007-PMTG.
Jum’at, 24 Agustus 2012
Siang ini setelah menyelesaikan keperluan di kampus dan bertemu dengan teman-teman kuliah, aku memacu motor biruku melewati padatnya arus balik jalan Jogja-Magelang sambil menikmati view gunung Merapi dan Merbabu yang terlihat cerah semenjak pgi tadi. Benar-benar cerah, semoga cerahnya bertahan sampai besok, harapkuku dalam hati. Sesampainya di rumah (Muntilan), Kakex dan Ian sudah disana menunggu. Aku segera shalat Ashar lalu packing karena jam menunjukkan pukul 16.15, molor hampir 1 jam dari planning. Seperti biasa.
Aku hanya memakai daypack Tagolu-Merah ku karena barang yang kubawa tak banyak, hanya Sleeping Bag (SB), Nisting+kompor+gas, senter, dan bekal untuk makan malam di basecamp, sedikit cemilan THR (Turahan Hari Raya), dan pakaian yang menempel di badan. Simple. Setelah packing selesai, kami bertiga berangkat menjemput Ardy di rumahnya, Blabak, kemudian pukul 17.30 melanjutkan perjalanan menuju Basecamp Pendakian Merapi, mampir shalat Maghrib di masjid megah di daerah Tlatar Sawangan, lalu memacu motor lagi hingga Selo.
Akhirnya kami sampai di Basecamp Barameru setelah menembus dinginnya suhu yang menggigit sepanjang perjalanan. Ramai sekali, seperti penmas. Mungkin karena libur lebaran, banyak yang sudah puasa mendaki selama Ramadhan, atau memang memanfaatkan waktu libur/ cuti untuk mendaki gunung teraktif di dunia ini. Paling banyak adalah motor dengan plat AD, daerah Surakarta, ada juga rombongan pendaki Jakarta dan Wonosobo. Basecamp penuh, tapi kami tetap akan mendaki gunung ini.
Acara di basecamp adalah duduk-duduk, mengistirahatkan badan, makan malam, dan ngobrol-ngobrol dengan beberapa pendaki lain. Semula kami berencana untuk tidur di basecamp dan mulai mendaki pada pukul 2 pagi karena kami tidak membawa dome, namun kami memutuskan untuk mulai mendaki dan akan tidur di Goa setelah Watu Gajah, atau tempat manapun yang cukup “nyaman” untuk tidur. Benar-benar outdoor. Hehe..
Setelah registrasi dan berdoa, pukul 20.50 kami berempat memulai pendakian dari Basecamp Barameru Merapi. Angin dingin tetap berhembus, tanpa jaket awal pendakian terasa dingin. Setelah melewati NEW SELO, etape ladang menghadang. Jalur di etape ladang ini sangat berdebu. Parah. Maklum saja, bulan-bulan akhir musim kemarau, dimana persediaan air sangat tipis, sehingga hujan lokal ataupun embun tak pernah terjadi lagi.
Perjalanan melewati etape ladang terasa lebih berat dari biasanya, karena debu-debu yang menutupi jalur pendakian akan ‘meledak’ saat diinjak. Membuat pernapasan sedikit sesak dan mata sedikit perih terkena butiran-butiran debu yang beterbangan hingga tersorot headlamp-ku. Kakiku yang hanya memakai sandal gunung juga sudah tak berbentuk lagi. Berdebu. Begitu juga celana hitamku. Aku lupa bahwa ini musim kemarau. Tau begini aku tak akan memakai celana hitam.
Etape ladang akhirnya selesai yang ditandai oleh sebuah gapura baru bertuliskan “Selamat Datang Di Taman Nasional Gunung Merapi” yang berdiri di awal etape hutan, perbatasan antara ladang penduduk dengan taman nasional. Di Gapura/ shelter baru ini kami bertemu dengan beberapa rombongan pendaki lain yang beristirahat, salah satunya yaitu rombongan Garba Wira Buana, Mapala UNS yang tadi berangkat lebih dulu dari basecamp. Aku dan ketiga temanku hanya berhenti sebentar, lalu segera tancap gas melanjutkan pendakian menuju Pos I.
Etape hutan juga berdebu, dan jalur pendakian kian bulani kian parah saja. Prihatin, tapi apa yang bisa kita lakukan?? Beberapa menit kemudian kami sampai di percabangan. Ke kiri adalah jalur Kartini, jalannya terlihat landai, sedangkan ke kanan adalah jalur utama, jalan terlihat menanjak dari percabangan. Kami memilih kanan. Jalur setelah percabangan didominasi oleh tanjakan yang cukup licin karena lapisan debu. Napas terasa lebih sesak karena debu dan tipisnya oksigen malam hari di gunung. Kaki dan celana juga semakin parah oleh debu yang terinjak.
Tanjakan terakhir terlihat, berarti Pos I tinggal beberapa langkah lagi, dan benar saja, Aku dan Ian sampai di Tugu Triangulasi Pos I pada pukul 22.05. sangat cepat menurutku, biasanya 2 jam baru sampai Pos I. Kami segera duduk, melepas beban di pundak, Begitu juga Kakex dan Ardy setibanya di Pos I. Tubuh sudah mulai basah, membasahi kaos kebesaran kami. Meski suhu malam ini dingin, berjalan mendaki tetap membuat kami berkeringat. Tapi setidaknya Track Basecamp – Pos I sudah terlewati, karena inilah bagian terberat dalam pendakian Merapi. Menurutku.
Setelah cukup beristirahat (±30 menit), kami memakai lagi daypack dan carrier kami dan mulai melangkah meninggalkan pos I. Menaiki, melewati, dan menuruni celah antara 2 batu, lalu melewati jalan sempit. Hati-hati di sini, lihat kanan kiri. Track selanjutnya berupa jalan berbatu dan sedikit menanjak, tapi tak securam track sebelum pos I. Setelah berjalan sekitar seratus meter, ada percabangan yang akan ditemui. Ke kiri merupakan jalur utama dengan track berbatu dan menanjak cukup curam karena merupakan jalur di punggungan bukit, sedangkan ke kanan jalan sedikit menanjak, lalu menurun dengan track tanah, ini merupakan Jalur Lumut.Kami memilih ke kanan, ke Jalur Lumut.
Jalur Lumut lebih landai karena merupakan lembah antara punggungan jalur pendakian dan sebuah punggungan lainnya. Jalurnya sempit dengan sisi kanan lereng, dan beberapa kali jurang/ lubang dalam menganga di kanan jalur pendakian. Terakhir kali melewati jalur utama saat naik adalah pendakian 17 Agustus 2010 bersama Lilik C-022-PMTG dan Herry C-023-PMTG, setelah itu setiap naik merapi pasti melewati Jalur Lumut. Lebih asik.
Jalur Lumut juga berdebu, tapi juga tak separah etape ladang dan hutan. Dan setelah sekitar satu jam berjalan santai akhirnya kami sampai di pertemuan jalur. Kami beristirahat lagi, duduk menghindari angin yang bertiup kencang, dan dingin. Melihat jam ternyata baru pukul 23.30. Di jalur utama ini kami menemukan tempat yang tak terkena angin. “Nyaman untuk tidur” Pikirku. Tapi kami masih belum memutuskan akan tidur di mana, mengingat kami tidak membawa dome. Pasti akan dingin tidur malam ini. Entah kedinginan di Pasar Bubrah, Goa, atau ceruk di jalur pendakian, atau entah di mana. Dan pada akhirnya, kami berjalan melewati Watu Gajah, dan berhenti di Goa. Tepat jam 24.00. Kami segera bongkar daypack dan carrier, dan segera membungkus tubuh kami dengan SB. Selamat tidur...

Sabtu, 25 Agustus 2012
Sunrise!! Sunrise!!
Suara Kakex dan Ardy yang sudah bangun lebih dulu memaksaku bangun. Aku melihat jam HP-ku, ternyata sudah pukul 05.00, dan ufuk timur sudah mulai menggaris sinar jingga. Malam ini tak senyenyak saat dulu mendaki berdua dengan Kakex 2-3 September tahun lalu, kali ini aku sering terbangun karena angin dingin yang membelai kepala dan leherku yang tak terbungkus SB. Aku segera shalat Subuh, lalu mengabadikan goresan sunrise yang selalu memikatku hingga kini.






 Setelah packing SB, kami mulai pendakian ke puncak baru Merapi. Kami mulai mendaki karang-karang di sisi kanan di atas Goa, kemudian menyusuri punggungan terbuka menuju Memoriam. Sejenak berhenti di Memoriam sambil menikmati pemandangan dari tempat yang sudah 13 kali kukunjungi ini. Banyak pendaki yang sudah sampai puncak, terlihat titik-titik hitam yang bergerak di bibir kawah Merapi. Beberapa dome terlihat berdiri di Camping site Pasar Bubrah yang masih gersang. Beberapa pendaki terlihat mulai summit attack, kami juga.



 
Berangkat pukul 06.00 dari Memoriam, kami menuruni jalan, membelah Pasar Bubrah, berpijak pada batu-batu dan kerikil, kemudian sampai di track pasir lereng puncak yang menanjak dan cukup curam. Kami menyeberangi lereng pasir ke arah kiri, kemudian mendaki kerikil-kerikil yang cukup bisa membuat kita tergelincir jika tak hati-hati. Lalu menyeberangi pasir lagi menuju tebing karang batuan muda di sisi kiri. Di tebing ini pendakian lebih mudah dan aman karena pijakan lebih stabil dan tidak licin. Setelah tebing karang, kami melewati lereng berpasir dan kerikil ke arah tengah. Jalur mendekati puncak tetap curam dan terjal, namun asalkan kita hati-hati dan tidak semberono, pendakian puncak akan tetap aman.

Alhamdulillah, setelah berjuang melawan rasa lelah di kaki, melewati pasir, kerikil, batu, hingga tebing karang akhirnya kembali kuinjakkan kakiku di dataran puncak baru Merapi pada pukul 06.55 waktu setempat. Kali kesembilan kugapai puncak Merapi, dan masih selalu takjub dengan cakrawala. Aku memilih ke bibir kawah sebelah kiri, ke arah celah erupsi 2010 lalu. Sebenarnya titik tertinggi gunung Merapi berada di sisi kanan, tapi akau tak mau mengambil resiko karena batuan puncak masih belum stabil, dan kulihat bagian yang kemarin gugur dan menyebabkan hujan abu adalah dataran puncak tertinggi di sisi kanan. Aku masih ingin mendaki gunung, dan aku masih ingin ke Mahameru.


 Acara puncak kuisi dengan berfoto-foto dengan view yang cerah berawan. Memang tak sebersih kemarin, tapi tetap keren. Banyak juga pendaki yang juga baru sampai di puncak, yang tadi terlihat dari memoriam sudah turun lebih dulu. Puncak memang tidak cukup untuk menampung banyak (sekali) orang. Karena puncak hanya berupa bibir kawah yang cukup tipis dan sempit, tak seperti dataran puncak sebelum Erupsi 2010, luas. Jadi dari puncak bisa terlihat kawah beserta tebing dinding kawah yang masih mengepulkan asap belerang. Mendaki gunung berapi dan bisa melihat kawahnya secara langsung adalah sesuatu yang cukup menarik.













Setelah cukup lama bersantai-santai di puncak, kami memutuskan untuk turun pada pukul 07.50. Perjalanan turun lebih cepat tapi lebih mengerikan, karena melihat track yang curam dan licin. Kami turun melalui sisi kiri (barat), yang langsung mencapai ujung lereng pasir. Di lereng pasir, perjalanan turun menjadi lebih enak dan sangat cepat, karena kita tak takut sakit jika terjatuh, dan kami bisa berlari menuruninya. Setengah jam kemudian kami sampai di dataran Pasar Bubrah, dan lima menit kemudian (08.25) sampai di Memoriam.
 






 Sebentar berhenti di Memoriam, mengambil beberapa foto lagi dari Memoriam di siang hari, kemudian menuruni punggungan terbuka, menuruni tebing karang, melewati Goa, Watu Gajah, tebing-tebing batu, dan akhirnya sampai di pertemuan jalur lumut dengan jalur utama. Kami kembali memilih jalur lumut untuk turun, lebih nyaman dan teduh. Terakhir kali aku melewati jalur utama untuk turun adalah saat mendaki bersama Sidiq C-006-PMTG, Lilik C-022-PMTG, dan Saladin C-032-PMTG karena kondisi sedang hujan dan akan licin jika turun melalui jalur lumut.

 Dengan sedikit berlari aku dan Kakex memimpin di depan melewati jalan setapak di antara semak-semak. Cuaca masih cerah saat turun, hanya tambah berawan. Akhirnya sampai juga di pertemuan jalur, dan pukul 09.30 kami sampai di Pos I. Kami memilih beristirahat di camping site Pos I yang bisa didirikan ! dome besar. Kami segera bongkar muat, memasak mie+ayam (= mie ayam) untuk sarapan kami pagi ini, serta se-nisting cappucino untuk menyegarkan kerongkongan. Sembari ngobrol-ngobrol dan menghisap (bagi ahli hisap), kunikmati view Sumbing, Sindoro, Dieng, Prahu, serta Slamet di sisi barat sana.


Setelah menyantap habis sarapan kami, pukul 10.40 kami packing dan melanjutkan perjalan turun kami untuk bisa segera sampai di Basecamp lagi. Dan kembali bergelut menembus debu yang akan lebih parah berterbangan karena terseok sepatu dan sandal yang merosot ataupun berlari. Aku membiarkan mereka turun lebih dulu, sambil menunggu beberapa saat hingga debu terbawa angin lalu baru menuruni turunan curam berdebu di etape hutan. Hingga “Pohon Tumbang” (tempat yang biasa kami tempati untuk istirahat kedua saat mendaki merapi), aku selalu memberi jarak turun. Dari “Pohon Tumbang” aku mengambil jalur kanan, sementara mereka bertiga melalui jalur utama. Jalur kanan merupakan jalur memutar melewati punggungan kanan jalur, dulu biasanya dipakai oleh penduduk. Aku memilih jalur ini karena pasti akan sedikit lebih tidak berdebu dibandingkan jalur utama.
Jalur yang kupilih masih terlihat jelas meski banyak tertutupi semak dan ranting-ranting. Meskipun tak hafal, aku tetap yakin dan hanya mengikuti jalan setapak sambil melihat punggungan kiri sebagai patokan. Dan setelah beberapa saat agak berlari mengikuti jalur, terlihatlah jalan setapak yang menghubungkan punggungan ini dengan punggungan jalur utama. Akhir dari jalur ini adalah batas Taman Nasional, Gapura Selamat Datang.
Dari batas Taman Nasional ini kami mengambil jalur alternatif lain di punggungan sebelah kiri, karena kami tak ingin bergelut dengan debu “berlebih” di etape ladang yang pasti juga sangat licin. Jalur alternatif ini juga merupakan jalur penduduk untuk naik – turun mencari rumput. Tak lama kemudian terlihatlah baliho NEW SELO di sisi depan kanan kami. Kami kemudian mengikuti jalur menurun melewati sungai kering dan naik menuju punggungan utama. Hari ini hari minggu, seperti biasa, banyak yang “ke sawah” dengan pakaian yang “necis” alias keren. Merekalah pasangan muda-mudi yang entah berasal dari mana, dan kesini untuk pacaran di ladang. Gak Elite beroo!!
Track etape ladang masih tersisa sedikit, aku melewatinya dengan berlari agar cepat bisa santai-santai di New Selo. Begitu sampai di New selo (11.30), kami memesan es teh di salah satu warung. Segerr.. Banyak juga pengunjung New Selo hari ini, ada rombongan keluarga, tapi kebanyakan memang mereka yang ingin berduaan di keramaian (soalnya yang pacaran banyak). Beberapa pasangan terlihat baru sampai, dan terus berdatangan selama kami dudu-duduk di joglo.
Cukup lama kami bersantai di sini, mengistirahatkan kaki yang lelah, sambil ngobrol-ngobrol dengan pendaki lain, serta salah satu pengunjung. Hingga kemudian kami turun menuju basecamp pada pukul 12.00. Track aspal masih tersisa kawan. Sepuluh menit kemudian kami sampai di Basecamp Barameru, kemudian beristirahat lagi di sini, membersihkan tangan dan kaki yang sudah seperti Telo (ketela) karena debu. Celana dan daypack juga berdebu, ramputpun tak luput. Persediaan air di daerah ini sedang limited, sehingga kami tidak bersih-bersi dengan bersih, biarlah terlihat kalau kami baru saja turun gunung. Hehe.. 


Pukul 12.45 kami meninggalkan basecamp, menjauhi Merapi yang terlihat berkilau seperti perak (Silver). Sampai bertemu lagi Debu Merapi, kerikil, batu, tebing, angin, Jalur Lumut, Watu Gajah, Goa, Memoriam, Pasar Bubrah, puncak, kawah, dan asap Sulfatara..

“Karena gununglah orang-orang seperti kita ada,
dan karena orang-orang seperti kitalah gunung memiliki makna.” - Ari Fendianto -


PENDAKI         :
Taufiq Bayu Pamungkas, A.Md. a.k.a Kakex C-001-PMTG
Septian Baskoro Adi, S.Kom. a.k.a Ian C-004-PMTG
Ari Fendianto a.k.a Arie C-007-PMTG 
Ardy Wicaksono a.k.a Ardy C-043-PMTG